SEJARAH
PERADILAN ISLAM
PERADILAN
ISLAM PADA MASA DINASTI UMAYYAH
OLEH
:
Nama : Suriana
Nurul
Farhana Marpaung (21144013)
Muhammad
Nasri
DOSEN
PEMBIMBING :
IBNU RIDWAN, MA
AL-AKHWAL AS-SYAKHSYIAH
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SUMATERA
UTARA
MEDAN
2015
DAFTAR
ISI
DAFTAR
ISI............................................................................................................ i
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang................................................................................ 1
B. Rumusan
Masalah............................................................................ 1
C. Tujuan
Makalah............................................................................... 1
BAB II PERADILAN PADA MASA DINASTI UMAYYAH
A. Sejarah
Berdirinya Dinasti Umayyah.............................................. 2
B. Peradilan
Di Masa Bani Umayyah.................................................. 3
C. Peradilan
Di Zaman Mu’awiyah Dan Daulah Umayyah................. 4
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................... 13
B. Saran.............................................................................................. 13
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................... 14
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Terjadilah
kekacauan dan fitnah, sehingga berakhir dengan jatuhnya kekuasaan ditangan
Muawiyah, khalifah pertama dari kalangan Bani Umayyah. Sedang ahli-ahli fikih
dari kalangan sahabat dan Tabi’in pada masa itu telah bertebaran diberbagai
ibukota karena semakin luasnya daerah penaklukan sebagaimana yang telah kami
sebutkan terdahulu di tempatnya, maka khalifahlah yang menhangkat qadhi-qadhi
yang bertugas di ibukota pemerintahan, dan untuk qadhi-qadhi yang bertugas di
daerah, diserahkan pengangkatannya oleh penguasa-penguasa daerah, maka
qadhi-qadhi itu bekerja tanpa pengawasan dan masing-masing berdiri sendiri,
hanya saja mereka hirarkis berada di bawah Khalifah dan wakil-wakilnya.
Dan
qadhi-qadhi pada masa itu dibatasi wewenangnya, hanya memutus perkara dalam
urusan-urusan khusus, sedang yang berhak melaksanakan keputusan-keputusan itu
adalah Khalifah sendiri atau wakil-wakilnya dengan instruksi daripadanya, dan
itulah yang pada masa kini dilakukan oleh lembaga tersendiri selama keputusan
itu telah memiliki ketetapan.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sejarah berdirinya Dinasti Umayyah ?
2. Bagaimana
peradilan di masa Dinasti Umayyah ?
C.
Tujuan Makalah
1. Mengetahui
sejarah berdirinya Dinasti Umayyah.
2. Mengetahui
sistem peradilan pada masa Dinasti Umayyah.
BAB
II
PERADILAN
PADA MASA KHALIFAH BANI UMMAYAH
A. Sejarah Berdirinya
Sepeninggalan
Ali Ibnu Abi Thalib, gubernur Syam tampil sebagai pengguasa Islam yang kuat.
Masa kekuasaannya merupakan awal ke daulatan Bani Umaiyah. Muawiyah Ibn Abu
Sufyan Ibn Harb adalah pembangun Dinasti Umaiyyah dan sekaligus menjadi
khalifah. Ia memindahkan ibu kota kekuasaan Islam dari Kufah ke Damaskus.
Pada
umumnya sejarawan memandang negatif terhadap Mu’awiyah. Keberhasilannya
memperoleh legalitas atas kekuasaan dalam perang saudara (siffin) dicapai
melalui cara arbitrasi yang curang. Lebih dari itu, Mu’awiyah juga di tuduh
sebagai pengkhianat prinsip-prinsip demokrasi yang di ajarkan Islam, karena
dialah yang mula-mula mengubah pimpinan negara dari seorang yang dipilih oleh
rakyat menjadi kekuasaan raja yang di wariskan turun-temurun.
Mu’awiyah
tumbuh sebagai pemimpin karier. Pengalaman politik telah memperkaya dirinya dengan
kebijasanaan-kebijasanaan dalam memerintah, mulai dari menjadi salah seorang
pemimpin pasukan dibawah pasukan komando panglima besar Abu Ubaidah Ibn Jarrah
yang berhasil merebut negara Palestina, Suriah dan Mesir dari tanggan imperium
romawi yang telah mengguasai ketiga daerah itu sejak tahun 63 SM. Lalu menjabat
sebagai kepala wilayah di Syam yang dibawahi Suriah dan Palestina yang
berkedudukan di Damaskus selama kira-kira 20 tahun semenjak diangkat oleh
Khalifah Umar. Khalifah Usman telah menobatkannya sebagai ”amir al-bahr” yang
memimpin armada besar dalam penyerbuan kekota konstantinopel walau gagal.
Keberhasilan
Mu’awiyah medirikan Dinasti Umaiyyah bukan hanya akibat dari kemenangan
diplomasi di Siffin yang terbunuhnya khalifah Ali saja, dari sejarah semula
gubernur Suriah itu memiliki ”basis rasional” yang solid bagi landasan pembangunan
politiknya di masa depan. Petama adalah berupa dukungan yang kuat dari rakyat
Suriah dan dari keluarga Bani Umaiyyah sendiri. Penduduk Suriah yang lama
diperintahkan oleh Mu’awiyah mempunyai ketentaraan yang kokoh, terlatih dan
disiplin di garis depan dalam peperangan melawan romawi. Mereka bersama-sama
dengan kelompok bangsa karya Makkah dari keturunan Umaiyyah berada sepenuhnya
di belakang Mu’awiyah dan memasukkannya sumber-sumber kekuatan yang tidak
habis-habisnya, baik morenal, tenaga manusia maupun kekayaan. Negeri Suriah
sendiri terkenal makmur dan menyimpan sumber alam yang berlimpah. Di tambah
lagi bumi mesir yang berhasil dirampas, maka sumber-sumber kemakmuran dan
suplai bertambah bagi Mu’awiyah.
Kedua,
sebagai seorang administrator, Mu’awiyah sangat bijaksana dalam menempatkan
para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Tiga orang patutlah mendapat
perhatian khusus, yaitu ‘Amir Ibn As, Mugirah Ibn Syu’bah dan Ziyad Ibn Abihi.
Ketiga pembantu ini dengan Mu’awiyah merupakan empat politikus yang sangat
menggagumkan di kalangan muslimin arab.
B. Peradilan Di Masa Bani Umayyah
Terjadilah
kekacauan dan fitnah, sehingga berakhir dengan jatuhnya kekuasaan ditangan
Muawiyah, khalifah pertama dari kalangan Bani Umayyah. Sedang ahli-ahli fikih
dari kalangan sahabat dan Tabi’in pada masa itu telah bertebaran diberbagai
ibukota karena semakin luasnya daerah penaklukan sebagaimana yang telah kami
sebutkan terdahulu di tempatnya, maka khalifahlah yang menhangkat qadhi-qadhi
yang bertugas di ibukota pemerintahan, dan untuk qadhi-qadhi yang bertugas di
daerah, diserahkan pengangkatannya oleh penguasa-penguasa daerah, maka
qadhi-qadhi itu bekerja tanpa pengawasan dan masing-masing berdiri sendiri,
hanya saja mereka hirarkis berada di bawah Khalifah dan wakil-wakilnya.
Dan
qadhi-qadhi pada masa itu dibatasi wewenangnya, hanya memutus perkara dalam
urusan-urusan khusus, sedang yang berhak melaksanakan keputusan-keputusan itu
adalah Khalifah sendiri atau wakil-wakilnya dengan instruksi daripadanya, dan
itulah yang pada masa kini dilakukan oleh lembaga tersendiri selama keputusan
itu telah memiliki ketetapan.
Qadhi
pada umumnya adalah seorang mujtahid, sehingga tidak ada Qadhi yang memegangi
suatu pendapat tertentu, tetapi ia memutus perkara yang tidak ada ketentuan
nashnya dari Al-Qur’an atau Sunnah Nabi saw. Atau ijma’, dengan pendapat dan
ijtihadnya sendiri, dan apabila ia menemukan kesulitan dalam menentukan
hukumnya, maka ia minta bantuan kepada ahli-ahli fikih yang berada di kota itu,
dan baanyak diantara mereka yang berkonsultasi dengan khalifah atau penguasa
dalam mencari suatu ketentuan pendapat. Oleh karena itu, qadhi-qadhi pada masa itu keputusan-keputusan hukumnya
tidak dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan pribadi, sehingga
keputusan-keputusan yang mereka keluarkan, disamping adanya ancaman pemecatan
bagi siapa yang berani melakukan penyelewengan.
C. Peradilan Di Zaman Mu’awiyah Dan
Daulah Umayyah
Peradilan di zaman kekuasaan Bani Umayyah menempati
peringkat ketiga setelah peringkat peradilan di zaman nabi dan para kulafaurrasyidin,
karena zaman pemerintahan Bani Umayyah berkembang dan disana masih terlihat
sisa-sisa zaman kulafaurrasyiddin. Tidak sedikit kebijakan para khalifahnya
merupakan kelanjutan dari kebijakan-kebijakan kulafaurasiddin, khususnya di
bidang penaklukan-penaklukan islam dan penyebararnya dakwah Islam di wilayah
timur dan barat serta masuknya manusia kedalam Islam secara bergelombang dan
berkembang peradaban islam.
1.
Pembebasan Diri Para Khalifah Dari
Urusan Peradilan Dan Pemetaan Kewenangan
Para khalifah Bani Umayyah tidak berhubungan dengan
peradilan Islam kecuali dalam tiga perkara:
a. Penetapan
hakim di ibukota Damaskus
b. Pengawasan
terhadap kinerja para hakim dan keputusan-keputusan mereka, memantau
kehidupan mereka secara khusus terkait
dengan pengakatan, pemakzulan, gaji, kebaikan sirah, keputusan-keputusan yang
mereka tetapkan untuk memastikaan kebenaran dan keadilannya dan kesesuaiannya
dengan agama dan syari’at serta sejauh mana mereka berpijak kepada kode etik
hakim yang lurus.
c. Mengawasi
secara ketat peradilan pidana dan peradilan perdata. Para khalifah Bani Umayyah
memberikan perangkat sendiri yang sempurna.
Dari
sini kita melihat bahwa peradilan di zaman pemerintahan Bani Umayyah berdiri
independen dari kekuasaan mana pun termasuk kekuasaan khalifah atau gubernur
dimana kewenangannya habis saat pengangkatan atau pemakzulan hakim tanpa ikut
mencampuri keputusan hukum hakim dan ijtihadnya, sehingga para khalifah dan
gubernur hanyalah pelaksana dari keputusan para hakim.
2.
Gaji Para Hakim
Sudah
dimaklumi bahwa Umar bin Khattab adalah pemimpin yang memisahkan peradilan dari
kekuasaan. Umar juga orang pertama yang mneetapkan gaji para hakim. Gaji para
hakim dipikul oleh Baitul Mal, dalam kadar yang mencukupi sekalipun standarnya
tdak sama sesuai dengan kondisi negara dan keadaan.
Sebagian
hakim ada yang tidak mengambil gaji, mereka berharap pahala murni dari Allah dalam menegakkan syariat-Nya, di antara
mereka adalah Masruq al-Ajda’ seorang mufti sekaligus hakim.
3.
Pencatatan Perkara-Perkara Peradilan Dan
Penetapan Kesaksian Atasnya
Di
zaman pemerintahan Bani Umayyah, untuk yang pertama kalinya dilakukan
pencatatan terhadap keputusan-keputusan peradilan yang ditetapkan oleh hakim
dalam catatannya dalam kantor peradilan, sehingga hakim bisa merujuknya kembali
bila diperlukan. Hakim pertama yang mencatat keputusannya adalah Sulaiman bin
Anz at Tujaibi, hakim wilayah Mesir di zaman Mu’awiyah. Ketika beberapa orang
berselisih kepadanya terkait dengan pembagian warisan, maka Sulaim menetapkan
keputusan di antara mereka. Selanjutnya mereka berpisah dan saat mereka
berkumpul, mereka kembali berselisih, mereka mulai mengingkaribdan mengelak
dari keputusan Hakim Sulaim, maka mereka meminta kepada hakim untuk menetapkan
kepada keputusan kedua.namun hakim Sulaim memerintahkan juru tulisnya agar
mencatat keputusan-keputusan pengadilan dan menyusunnya menjadi sebuah kitab
yang berisi keputusan-keputusannya dan selanjutnya dia menegakkan kesaksian
atasnya.
4.
Para Pembantu Hakim
Biasanya
hakim membutuhkan orang-orang yang membantunya dalam proses peradilan dan
pengambilan keputusan, ada penulis hakim atau penulis mahkamah atau penulis mahkamah
atau penulis peneliti. Di zaman Bani Umayyah muncul pembantu-pembantu hakim
menurut tuntutan kebutuhan, perkembangan hidup dan luasnya tugas-tugas hakim
serta banyaknya perkara yang harus ditangani.
a.
Juru panggil
Dia
adalah orang yang duduk di majelis hakim untuk menjelaskan kedudukan hakim dan
mengenalkannya, dan memanggil pihak yang berperkara. Orang ini disebut dengan
orang yang ada diatas kepala hakim atau pemilik majelis.
b.
Pengawal
Dia
adalah petugas yang berdiri di pintu hakim untuk menahan orang-orang selama
proses kajian terhadap perkara, menata masuknya orang-orang yang berseteru
manakala mereka berdesak-desakan karena jumlah mereka yang banyak. Pengawal ini
bisa sekaligus pemanggil yang berdiri dibelakang kepala hakim, dia bertugas
menjalankan dua pekerjaan sekaligus, bisa jadi dia adalah petugas keamanan dari
unsur tentara atau dia memang petugas keamanan peradilan. Hakim terkadang
menugasinya untuk melakukan sebagian pekerjaan di mahkamah atau menunaikan
sebagian tugas luar.
c.
Penerjemah
Para
hakim mengangkat penerjemah karena banyaknya orang-orang bukan Arab yang masuk
Islam. Orang-orang tersebut saling mengenal sebagian dengan sebagian yang lain.
Jika terjadi perselisihanatau gugatan atau klaim, maka hakim meminta bantuan
penerjemah yang tsiqah dan diterima untuk menerjemahkan bahasa pihak yang
berseteru ke dalam bahasa Arab.
5.
Pengawasan Dan Kontrol
Sesungguhnya
berlepasnya para khalifah dan para gubernur dan hanya membatasi pada
pengangkatan dan pemakzulan, tidak menutup kemungkinan para penguasa itu tetap
mengawasi tugas-tugas para hakim, menelaah keputusan-keputusan mereka,
memonitor gugatan-gugatan dan keputusan-keputusan yang mereka tetapkan.karena
khalifah adalah penanggung jawab terhadap peradilan dan segala perkara yang
khusus bagi umat dan pribadi dalam mengelola Agama dan dunia. Menyerahkan
peradilan kepada para hakim tidak membebaskan khalifah dari tanggung jawa dunia
dan akhirat. Dari sini maka para khalifah mengawasi kerja para hakim, memonitor
apa yang mereka putuskan, bila terjadi kekeliruan atau penyimpangan atau
keteledoran, maka mereka segera meluruskannya dan mengoreksinya.
6.
Sumber-Sumber Keputusan Hukum Peradilan
Para
hakim di zaman pemerintahan Bani Umayyah berpijak kepada apa yang dipijak oleg
para hakim di zaman Khulafaurrasyidin, yaitu berpegang kepada Al-Qur’an,
Hadits, ijma’, keputusan-keputusan hakim pendahulu, dan ijtihad dengan
musyawarah.
7.
Kewenangan Para Hakim Dan Spesialisasi
Peradilan
Luasnya
wilayah negara di zaman pemerintahan Bani Umayyah, banyaknya penduduk,
kesibukan para khalifah dalam penaklukan, menata negara dan menghadapi
fitnah-fitnah dari dalam, membuat mereka mengandalkan para hakim dan
menyerahkan wewenang kepada mereka, para khalifah tidak lagi mengurusi masalah
jinayat dan hudud, mereka menyerahkannya kepada hakim agar mengadilinya.
Mu’awiyah dalah orang pertama yang menyerahkan masalah sengketa luka-melukai,
pembunuhan dan qishash kepada hakim. Mu’awiyah menulis kepada hakim Sulaim bin
Anz, hakim Mesir di zamannya agar mengurusi perkara luka-melukai dan
melaporkannya kepada kepala kantor. Bila ada seseorang yang dilukai oleh orang
lain, maka dia dibawa kepada hakim, dia membawa bukti atas pihak yang
melukainya, maka hakim menetapkan ganti ruginya atas keluarga pihak yang
melukainya, maka hakim menetapkan ganti ruginya atas keluarga pihak yang
melukainya dan melaporkannya kepada kantor santunan negara, bila saat pembagian
santunan telah tiba, maka bagian keluarga pihak yang melukai dipotong untuk
membayar ganti rugi bagi pihak yang dilukai, pembayarnnya dicicil selama tiga
tahun, dan inilah yang kemudian berjalan setelah itu.
Hakim
di zaman pemerintahan Bani Umayyah menangani persoalan umum, masalah hak,
harta, hukum-hukum keluarga, warisan, qishash dan hudud, hal ini terbaca dengan
jelas dari sirah para hakim dan keputusan-keputusan mereka yang disebutkan oleh
Waki’. Di zaman pemerintahan Bani Umayyah ini, hakim juga ditugasi pekerjaan
lain, sebagian darinya mirip dengan peradilan dan seagian yang lain tidak
mirip, diantara pekerjaan yang terpenting di zaman itu adalah mengawasi harta
anak-anak yatim, mengawsi wakaf, dan memberi fatwa.
8.
Para Hakim Dan Tugas-Tugas Yang
Bermacam-Macam
Mempertimbangkan
bahwa para hakim adalah orang-orang yang dipercaya, mereka memiliki sifat
keadilan dan kesucian akhlak, kebersihan hati dan ketakwaan, maka para Khalifah
Bani Umayyah menyerahkan beberapa tugas (strategis), di antaranya:
a. Kepolisian
Para
hakim menjadi kepala kepolisian di samping tetap mengurusi tugas-tugasnya
sebagai hakim. Para hakim itu menggabungkan kewenangan sebagai dan kewenagan sebagai polisi dan hal ini
terjadi di beberapa kota Islam. Waki’ meriwayatkan bahwa Mu’awiyah memaakzulkan
Sa’id bin al-Ash sebagai gubernur Madinahtahun 53 H, dan menggantinya dengan
Marwan bin al-Hakam, maka Marwan memakzulkan Abu Salamah bin Abdurrahman dan
menggantikannya dengan saudaranya Mush’ab bin Abdurrahman bin Auf dan
menggabungkan kepolisian kepadanya disamping peradilan. Mus’ab ini adalah orang
yang keras dan tegas selama menjabat, dan manakala dia menjadi polisi, dia
bertindak tegas terhadap masyarakat.
b. Pemerintah
Sebagian
hakim terkadang merangkap sebagai pejabat pemerintahan, sebagaimana khalifah
menyerhkan urusannya kepada hakim bila dia sedang menunaikan diluar Damaskus. Tidak sedikit para gubernur
menunjuk hakim sebagai pengurus beberapa perkara, memimpin pemerintahan kota
saat yang bersangkutan meninggalkannya atau saat ada tugas keluar kota.
9.
Nama-Nama Hakim Di Zaman Mu’awiyah
a. Para
hakim Damaskus yang paling terkenal
1) Fadhlah
bin Ubaid, yang diangkat oleh Mu’awiyah sebagai hakim di Syam atas usulan Abu
ad-Darda’. Jabatan ini di pegang oleh Fadhlah sampai di wafat tahun 53 di zaman
kekhalifahan Mu’awiyah. Fadhalah pernah menetapkan untuk tidak menetapkan
hukuman had saat seorang laki-laki menghadap dengan membawa seorang yang di
tuduh mencuri berikut barangnya. Maka Fadhlah berkata kepadanya, “Mungkin kamu
menemukannya, mungkin kamu memungutnya.” Maka laki-laki yang menangkapnya berkata,
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, dia akan mengucapkannya.” Maka laki-laki
yang dituduh mencuri berkata, “Ya, demi Allah, semoga Allah memberimu kebaikan,
aku menemukannya.” Maka Fadhlah melepaskannya. Para fuqaha membolehkan
mentalqin (mengingatkan) orang yang tertuduh dalam bidang hudud, sebagaimana
yang dilakukan oleh Nabi kepada Ma’iz.
2) An-Nu’man
bin Basyir bin Sa’ad, Abu Idris al-Anshari al-Khazraji. Beliau adalah seorang
sahabat yang memegang peradilan Syam setelah Fadhlah.
b. Para
Hakim Madinah
1)
Abu Hurairah, seorang sahabat yang mulia
menjadi hakim di Madinah. Abu Hurairah tinggal di Madinah sampai wafat disana
tahun 59 H.
2)
Abdullah bin al-Harits bin Naufal,
adalah hakim pertama di Madinahuntuk gubernur Marwan bin al-Hakam di zaman
Mu’awiyah. Dia adalah hakim pertama yang menetapkan hak atas keluarga Marwan,
namun justru hal itu menambah kebaikan baginya di sisi Marwan. Dia memutuskan
dengan berpijak kepada sumpah dan saksi satu orang. Wafat tahun 84 H. Dia
termasuk ahli fikih yang shalih di kalangan kaum Muslimin.
3)
Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf,
yang wafat tahun 94 H, salah seorang tabi’in besar. Dia pernah meminta pemilik
hak untuk bersumpah apabila hanya ada satu orang saksi.
4)
Mush’ab bin Abdurrahman bin Auf, yang
wafat tahun 64 H. Dia adalah orang yang tegas dan keras selama menjabat. Saat
dia menjabat, dia menerapkan ketegasan terkait dengan pembunuhan yang menyebar
di Madinah.
c. Para
Hakim Bashrah
Peradilan
Bashrah dijabat oleh banyak hakim. Diantara mereka adalah Umairah bin Yatsribi adh-Dhabbi
yang diangkat oleh Abdullah bin Amir bin Kuraiz, gubernur Bashrah dari
Mu’awiyah. Umaiah ini menetapkan bahwa barang pinjaman harus diganti bila
hilang.
d. Para
Hakim di Kufah
Hakim paling kesohor di
Kufah adalah Suraih al-Qadhi. Dia memegang peradilan mulai dari zaman Umar bin
Khattab dan sepanjang zaman Khulafaurrasyidin sesudah Umar, dan juga masa yang
sangat panjang dari zaman pemerintahan Bani Umayyah lebih dari tiga puluh lima
tahun, lalu dia berhenti dizaman Abdullah bin Zubair, kemudian dia kembali ke
kursi peradilan sampai dia mengundurkan dirinya tahun 78 H. Kemudian Masruq bin
Al-Ajda’ al-Hamadi adalah hakim di Kufah yang di kenal dengan seorang yang
mulia.
e. Para
Hakim di Mesir
Hakim
Mesir yang paling terkenal di zaman Mu’awiyah adalah Sulaim bin Anz at-Tujaibi.
Dia adalah hakim Mesir pertama di zaman Mu’awiyah bin Abu Sufyan tahun 40 H.
10.
Ciri Khas Peradilan di Zaman Mu’awiyah
dan Zaman Bani Umayyah Secara Umum
a. Peradilan
di zaman ini masih sama dengan peradilan di zaman sebelumnya, zaman Nabi dan
zaman Khulafaurrasyidin dalam pijakan-pijakan utamanya, aturan protokolernya,
sarana dan tujuannya, kepanjangan dari peradilan sebelumnya dalam menegakkan
kebenaran dan keadilan, kebersihan, tematik, disamping tetap mempertimbangkan
perkembangan dan kondisi yang ada di zaman kekhalifahan Bani Umayyah.
b. Para
hakim di zaman ini tetap menggunakan sarana-sarana pembuktian yang digunakan di
zaman sebelumnya, zaman Khulafaurrasyidin, ditambah dengan firasat, menggunakan
taktik atas tertuduh untuk membuka kebenaran dan mengungkap keadilan.
c. Di
zaman ini muncul sumber-sumber baru bagi hukum syar’i, yaitu urf (kebiasaan
yang berlaku), ucapan sahabat, ijma’, penduduk Madinah dalam beberapa kondisi,
disamping sumber-sumber pokok yang diamalkan di zaman Nabi yaitu Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi serta sumber ijtihadi di zaman Khulafaurrasyidin yaitu ijma’,
qiyas, keputusan-keputusan peradilan sebelumnya dan pertimbangan akal.
d. Para
khalifah menunjuk hakim di Syam, terkadang mereka juga menunjuk hakim di
daerah. Para gubernur juga menunjuk para hakim di wilayahnya dan berwenang
memakzulkannya.
e. Para
khalifah dan gubernur berusaha memilih orang terbaik sebagai hakim dari
kalangan para ulama, fuqaha, para tokoh dan orang-orang terpilih dimana mereka
memiliki sifat-sifat syar’i sebagai hakim: takut kepada Allah, berpegang kepada
kebenaran, mengamalkan syariat, dan menegakkan keadilan di antara manusia.
f. Ada
beberapa perubahan yang terlihat dalam proses peradilan di zaman ini, dan
perubahan ini di tambahkan untuk pertama kalinya, yaitu:
1)
Dicatatnya keputusan pengadilan karena
di khawatirkan terlupakan, juga demi menepis pengingkaran, dan meletakkan
catatan ini dalam arsip khusus.
2)
Mengawasi wakaf agar ditangani secara
baik dan tepat sasaran.
3)
Mengawasi hak anak yatim dan memonitor para
wali yatim.
4)
Menyusun gugatan, menggunakan sistem
antrian untuk masuk bagi pihak yang berperkara dan memanggil mereka dengan
tertib.
5)
Adanya para pembantu bagi hakim, mereka
adalah pemanggil, pengawal dan polisi.
6)
Bekerjasama dengan pihak kepolisian dalam
menerapkan keputusan atas pihak yang berperkara
g. Para
hakim berijtihad dalam menetapkan keputusan pengadilan, mereka memiliki
kebebasan mutlak dalam menggali hukum dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan
tujuan-tujuan dasar syari’ah dan sumber-sumber hukum lainnya, mereka tidak
terikat dengan pendapat khalifah, tidak berpegang kepada mazhab fikih tertentu,
namun mereka tetap berunding dengan para ulama dan fuqaha dan mengundang mereka
untuk hadir di majelis peradilan
h. Para
hakim tidak terpengaruh oleh kebijakan para penguasa dan khalifah. Para hakim
bekerja secara independen. Kecenderungan politik, pemberontakan, perbedaan
pemikiran, dan fitnah-fitnah dalam negeri tidak mempengaruhi kerja mereka.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Keberhasilan Mu’awiyah medirikan Dinasti
Umaiyyah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi di Siffin yang
terbunuhnya khalifah Ali saja, dari sejarah semula gubernur Suriah itu memiliki
”basis rasional” yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan.
Petama adalah berupa dukungan yang kuat dari rakyat Suriah dan dari keluarga
Bani Umaiyyah sendiri.
2.
Qadhi pada umumnya adalah seorang
mujtahid, sehingga tidak ada Qadhi yang memegangi suatu pendapat tertentu,
tetapi ia memutus perkara yang tidak ada ketentuan nashnya dari Al-Qur’an atau
Sunnah Nabi saw. Atau ijma’, dengan pendapat dan ijtihadnya sendiri, dan
apabila ia menemukan kesulitan dalam menentukan hukumnya, maka ia minta bantuan
kepada ahli-ahli fikih yang berada di kota itu, dan baanyak diantara mereka
yang berkonsultasi dengan khalifah atau penguasa dalam mencari suatu ketentuan
pendapat.
3.
Hakim-hakim yang terkenal pada masa
Mua’awiyah Fadhlah bin Ubaid, An-Nu’man bin Basyir bin Sa’ad, Abu Hurairah, Abdullah
bin al-Harits bin Naufal, Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, Mush’ab bin
Abdurrahman bin Auf, Umairah bin Yatsribi adh-Dhabbi, Masruq bin Al-Ajda’
al-Hamadi, Sulaim bin Anz at-Tujaibi.
B. Saran
Demikian pembuatan makalah ini
semoga dapat dijadikan proses pembelajaran khususnya dalam mengetahui tentang
syar’u man qablana (syariat sebelum kami), ini dapat dijadikan acuan bagi
pembaca untuk mendapat tambahan ilmu khususnya bagi kita semua.
DAFTAR
PUSTAKA