Minggu, 24 April 2016

Gunakan Hati, Lestarilah Bumi!

Hati yang dalam bahasa arabnya “qalbun” adalah bagian terpenting dari organ tubuh. Hati pada hakikatnya suci, bersih tanpa noda dan goresan. Hati yang hanya sebesar gumpal tangan manusia ini walaupun kecil tapi penuh manfaat. Perlunya rawatan dan penjagaan yang amat sangat. Di dalam organ tubuh manusia, dalam ilmu kedokteran hati berfungsi sebagai penetralisir racun. Kemudian diambil dari ilmu yang berbeda seperti dalam ilmu tauhid, ternyata hati itu dekat dengan yang menciptakannya yaitu Allah Swt. karena hati merupakan pusat pengendali manusia.
 
Sama halnya dengan bumi, bumi menurut KBBI adalah planet tempat manusia hidup, dunia, jagat. Bumi tempat berlindung, berteduh dan tempat segalanya bagi makhluk hidup. Bumi merupakan bentuk kekuasaan Allah yang luar biasa yang tak dapat terpikirkan oleh akal manusia. Lantas, dengan nikmat yang demikian harus adanya suatu pelestarian dan penjagaan yang merupakan wujud dari rasa syukur yang luar biasa yang telah Allah berikan.
 
Menjaga hati sama halnya dengan menjaga dan melestarikan bumi dan alam, yang perlu perawatan penuh dan tidak boleh dirusak. Rusaknya hati karena manusia itu sendiri dan rusaknya bumi atau alam juga karena manusia itu sendiri. Hati juga erat kaitannya dengan alam. Kondisi hati dapat dikaitkan dengan kondisi alam. Bagusnya kondisi alam, berarti bagusnya kondisi hati makhluk yang berada di alam tersebut, terkhusus manusia.
 
Dari hati kemudian lahirnya sebuah pemikiran dan tindakan, kemudian hati dapat juga dikatakan sebagai hakim pribadi. Hatilah yang memutuskan segala sesuatunya, walaupun terkadang yang diputuskan tak sesuai dengan kehendak hati, tapi itulah yang namanya hati yaitu sebaik-baik hakim. Rasulullah Saw. bersabda:
“Dalam diri manusia ada segumpal darah. Yang apabila shalih (tidak rusak), maka akan shalih seluruhnya, tetapi apabila buruk maka akan buruk pula seluruhnya, itulah hati”.
 
Dari paparan hadis di atas dapat disimpulkan bahwa hati adalah pusat pengendali diri manusia. Perilaku dan perangai manusia dapat dilihat secara indrawi manusia, perilaku seseorang tersebut merupakan cerminan dari hatinya. Sehingga untuk mengenal diri kita sendiri kita harus memulainya dengan mengenal hati kita. Ada dua jenis hati, yaitu:
 
Pertama; Hati jasmaniyah, yaitu hati yang telah kita ketahui sebagai organ tubuh yang dimiliki seluruh makhluk hidup yang diciptakan Allah. Hati yang dimaksud disini dapat dilihat oleh mata manusia. Kedua; Hati ruhaniyyah, yaitu hati jenis inilah yang merasa, mengerti dan mengetahui yang tidak dimiliki oleh semua makhluk hidup yang diciptakan Allah. Tidak dapat dilihat oleh mata, tapi dapat dirasakan manfaat dan kerjanya.
 
Imam al-Ghazali dalam bukunya yang berjudul "Minhajul Abidin", mengatakan bahwa ilmu yang fardhu ‘ain dituntut oleh seorang muslim adalah mencakup tiga hal, yaitu: ilmu tauhid, ilmu syariat dan ilmu sir (ilmu tentang hati).
 
Ilmu tauhid dan syariat sudah populer bahkan sudah kita pelajari, paling tidak ilmu itu sudah pernah kita dengar sebagai seorang muslim. Kemudian ilmu itu masuk dalam matakuliah serta matapelajaran di kampus maupun di sekolah. Sehingga mahasiswa dan pelajar mengetahui bahkan menguasai ilmu tersebut. Namun beda halnya dengan ilmu sir (ilmu tentang hati) tidak ada pelajaran atau matakuliah yang membahas tentang itu. Akan tetapi ilmu itu didapat dari keseharian kita.
 
Dalam hal ini jenis hati yang ruhaniyyah dan ilmu sir ini yang perlu dikaji lebih dalam, banyak masalah yang didapat yang disebabkan oleh hati. Penyakit hati yang timbul tiba-tiba dan tidak ditemukan obatnya. Ini yang sering dialami oleh manusia, terkadang kita sendiri tidak menyadari darimana datangnya penyakit itu, dia semacam virus yang cepat hinggap.
 
Dengan demikian, sangat diperlukannya hati untuk pelestarian bumi, karena hati adalah pengendali manusia. Sebaiknya kita melestarikan hati sejak dini dan melestarikan bumi mulai saat ini, menjaga hati agar tidak terkena penyakit hati dan menjaga bumi agar tidak terjadi kerusakan dini demi keberlangsungan makhluk di bumi. Karena hati adalah fitrah yang diberikan Allah kepada manusia, dan bumi adalah bentuk kekuasaan Allah yang luar biasa, selayaknya kita mensyukuri nikmat tersebut. Dengan mengamalkan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya serta menjaga yang telah diberikan. Sesungguhnya Allah tempat berlindung hati dan Allah Maha Mengetahui.

Jumat, 30 Oktober 2015

Makalah Sejarah Peradilan Islam Tentang Peradilan Masa Umayyah




SEJARAH PERADILAN ISLAM
PERADILAN ISLAM PADA MASA DINASTI UMAYYAH


OLEH :

Nama                :     Suriana                                      
                                Nurul Farhana Marpaung       (21144013)
                                Muhammad Nasri                    

DOSEN PEMBIMBING :
IBNU RIDWAN, MA



AL-AKHWAL AS-SYAKHSYIAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2015


DAFTAR ISI


DAFTAR ISI............................................................................................................ i                       
BAB      I      PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah............................................................................ 1
C. Tujuan Makalah............................................................................... 1
BAB      II     PERADILAN PADA MASA DINASTI UMAYYAH
A. Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah.............................................. 2
B. Peradilan Di Masa Bani Umayyah.................................................. 3
C. Peradilan Di Zaman Mu’awiyah Dan Daulah Umayyah................. 4
BAB      III  PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................... 13
B. Saran.............................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 14


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Terjadilah kekacauan dan fitnah, sehingga berakhir dengan jatuhnya kekuasaan ditangan Muawiyah, khalifah pertama dari kalangan Bani Umayyah. Sedang ahli-ahli fikih dari kalangan sahabat dan Tabi’in pada masa itu telah bertebaran diberbagai ibukota karena semakin luasnya daerah penaklukan sebagaimana yang telah kami sebutkan terdahulu di tempatnya, maka khalifahlah yang menhangkat qadhi-qadhi yang bertugas di ibukota pemerintahan, dan untuk qadhi-qadhi yang bertugas di daerah, diserahkan pengangkatannya oleh penguasa-penguasa daerah, maka qadhi-qadhi itu bekerja tanpa pengawasan dan masing-masing berdiri sendiri, hanya saja mereka hirarkis berada di bawah Khalifah dan wakil-wakilnya.
Dan qadhi-qadhi pada masa itu dibatasi wewenangnya, hanya memutus perkara dalam urusan-urusan khusus, sedang yang berhak melaksanakan keputusan-keputusan itu adalah Khalifah sendiri atau wakil-wakilnya dengan instruksi daripadanya, dan itulah yang pada masa kini dilakukan oleh lembaga tersendiri selama keputusan itu telah memiliki ketetapan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Umayyah ?
2.      Bagaimana peradilan di masa Dinasti Umayyah ?

C.     Tujuan Makalah
1.      Mengetahui sejarah berdirinya Dinasti Umayyah.
2.      Mengetahui sistem peradilan pada masa Dinasti Umayyah.
BAB II
PERADILAN PADA MASA KHALIFAH BANI UMMAYAH

A.    Sejarah Berdirinya                                       
Sepeninggalan Ali Ibnu Abi Thalib, gubernur Syam tampil sebagai pengguasa Islam yang kuat. Masa kekuasaannya merupakan awal ke daulatan Bani Umaiyah. Muawiyah Ibn Abu Sufyan Ibn Harb adalah pembangun Dinasti Umaiyyah dan sekaligus menjadi khalifah. Ia memindahkan ibu kota kekuasaan Islam dari Kufah ke Damaskus.
Pada umumnya sejarawan memandang negatif terhadap Mu’awiyah. Keberhasilannya memperoleh legalitas atas kekuasaan dalam perang saudara (siffin) dicapai melalui cara arbitrasi yang curang. Lebih dari itu, Mu’awiyah juga di tuduh sebagai pengkhianat prinsip-prinsip demokrasi yang di ajarkan Islam, karena dialah yang mula-mula mengubah pimpinan negara dari seorang yang dipilih oleh rakyat menjadi kekuasaan raja yang di wariskan turun-temurun.
Mu’awiyah tumbuh sebagai pemimpin karier. Pengalaman politik telah memperkaya dirinya dengan kebijasanaan-kebijasanaan dalam memerintah, mulai dari menjadi salah seorang pemimpin pasukan dibawah pasukan komando panglima besar Abu Ubaidah Ibn Jarrah yang berhasil merebut negara Palestina, Suriah dan Mesir dari tanggan imperium romawi yang telah mengguasai ketiga daerah itu sejak tahun 63 SM. Lalu menjabat sebagai kepala wilayah di Syam yang dibawahi Suriah dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus selama kira-kira 20 tahun semenjak diangkat oleh Khalifah Umar. Khalifah Usman telah menobatkannya sebagai ”amir al-bahr” yang memimpin armada besar dalam penyerbuan kekota konstantinopel walau gagal.[1]
Keberhasilan Mu’awiyah medirikan Dinasti Umaiyyah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi di Siffin yang terbunuhnya khalifah Ali saja, dari sejarah semula gubernur Suriah itu memiliki ”basis rasional” yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. Petama adalah berupa dukungan yang kuat dari rakyat Suriah dan dari keluarga Bani Umaiyyah sendiri. Penduduk Suriah yang lama diperintahkan oleh Mu’awiyah mempunyai ketentaraan yang kokoh, terlatih dan disiplin di garis depan dalam peperangan melawan romawi. Mereka bersama-sama dengan kelompok bangsa karya Makkah dari keturunan Umaiyyah berada sepenuhnya di belakang Mu’awiyah dan memasukkannya sumber-sumber kekuatan yang tidak habis-habisnya, baik morenal, tenaga manusia maupun kekayaan. Negeri Suriah sendiri terkenal makmur dan menyimpan sumber alam yang berlimpah. Di tambah lagi bumi mesir yang berhasil dirampas, maka sumber-sumber kemakmuran dan suplai bertambah bagi Mu’awiyah.
Kedua, sebagai seorang administrator, Mu’awiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Tiga orang patutlah mendapat perhatian khusus, yaitu ‘Amir Ibn As, Mugirah Ibn Syu’bah dan Ziyad Ibn Abihi. Ketiga pembantu ini dengan Mu’awiyah merupakan empat politikus yang sangat menggagumkan di kalangan muslimin arab.[2]

B.     Peradilan Di Masa Bani Umayyah
Terjadilah kekacauan dan fitnah, sehingga berakhir dengan jatuhnya kekuasaan ditangan Muawiyah, khalifah pertama dari kalangan Bani Umayyah. Sedang ahli-ahli fikih dari kalangan sahabat dan Tabi’in pada masa itu telah bertebaran diberbagai ibukota karena semakin luasnya daerah penaklukan sebagaimana yang telah kami sebutkan terdahulu di tempatnya, maka khalifahlah yang menhangkat qadhi-qadhi yang bertugas di ibukota pemerintahan, dan untuk qadhi-qadhi yang bertugas di daerah, diserahkan pengangkatannya oleh penguasa-penguasa daerah, maka qadhi-qadhi itu bekerja tanpa pengawasan dan masing-masing berdiri sendiri, hanya saja mereka hirarkis berada di bawah Khalifah dan wakil-wakilnya.
Dan qadhi-qadhi pada masa itu dibatasi wewenangnya, hanya memutus perkara dalam urusan-urusan khusus, sedang yang berhak melaksanakan keputusan-keputusan itu adalah Khalifah sendiri atau wakil-wakilnya dengan instruksi daripadanya, dan itulah yang pada masa kini dilakukan oleh lembaga tersendiri selama keputusan itu telah memiliki ketetapan.
Qadhi pada umumnya adalah seorang mujtahid, sehingga tidak ada Qadhi yang memegangi suatu pendapat tertentu, tetapi ia memutus perkara yang tidak ada ketentuan nashnya dari Al-Qur’an atau Sunnah Nabi saw. Atau ijma’, dengan pendapat dan ijtihadnya sendiri, dan apabila ia menemukan kesulitan dalam menentukan hukumnya, maka ia minta bantuan kepada ahli-ahli fikih yang berada di kota itu, dan baanyak diantara mereka yang berkonsultasi dengan khalifah atau penguasa dalam mencari suatu ketentuan pendapat. Oleh karena itu, qadhi-qadhi  pada masa itu keputusan-keputusan hukumnya tidak dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan pribadi, sehingga keputusan-keputusan yang mereka keluarkan, disamping adanya ancaman pemecatan bagi siapa yang berani melakukan penyelewengan.[3]

C.    Peradilan Di Zaman Mu’awiyah Dan Daulah Umayyah
            Peradilan di zaman kekuasaan Bani Umayyah menempati peringkat ketiga setelah peringkat peradilan di zaman nabi dan para kulafaurrasyidin, karena zaman pemerintahan Bani Umayyah berkembang dan disana masih terlihat sisa-sisa zaman kulafaurrasyiddin. Tidak sedikit kebijakan para khalifahnya merupakan kelanjutan dari kebijakan-kebijakan kulafaurasiddin, khususnya di bidang penaklukan-penaklukan islam dan penyebararnya dakwah Islam di wilayah timur dan barat serta masuknya manusia kedalam Islam secara bergelombang dan berkembang peradaban islam.

1.      Pembebasan Diri Para Khalifah Dari Urusan Peradilan Dan Pemetaan Kewenangan
            Para khalifah Bani Umayyah tidak berhubungan dengan peradilan Islam kecuali dalam tiga perkara:
a.       Penetapan hakim di ibukota Damaskus
b.      Pengawasan terhadap kinerja para hakim dan keputusan-keputusan mereka, memantau kehidupan  mereka secara khusus terkait dengan pengakatan, pemakzulan, gaji, kebaikan sirah, keputusan-keputusan yang mereka tetapkan untuk memastikaan kebenaran dan keadilannya dan kesesuaiannya dengan agama dan syari’at serta sejauh mana mereka berpijak kepada kode etik hakim yang lurus.
c.       Mengawasi secara ketat peradilan pidana dan peradilan perdata. Para khalifah Bani Umayyah memberikan perangkat sendiri yang sempurna.

Dari sini kita melihat bahwa peradilan di zaman pemerintahan Bani Umayyah berdiri independen dari kekuasaan mana pun termasuk kekuasaan khalifah atau gubernur dimana kewenangannya habis saat pengangkatan atau pemakzulan hakim tanpa ikut mencampuri keputusan hukum hakim dan ijtihadnya, sehingga para khalifah dan gubernur hanyalah pelaksana dari keputusan para hakim.

2.      Gaji Para Hakim
Sudah dimaklumi bahwa Umar bin Khattab adalah pemimpin yang memisahkan peradilan dari kekuasaan. Umar juga orang pertama yang mneetapkan gaji para hakim. Gaji para hakim dipikul oleh Baitul Mal, dalam kadar yang mencukupi sekalipun standarnya tdak sama sesuai dengan kondisi negara dan keadaan.

Sebagian hakim ada yang tidak mengambil gaji, mereka berharap pahala murni dari  Allah dalam menegakkan syariat-Nya, di antara mereka adalah Masruq al-Ajda’ seorang mufti sekaligus hakim.

3.      Pencatatan Perkara-Perkara Peradilan Dan Penetapan Kesaksian Atasnya
Di zaman pemerintahan Bani Umayyah, untuk yang pertama kalinya dilakukan pencatatan terhadap keputusan-keputusan peradilan yang ditetapkan oleh hakim dalam catatannya dalam kantor peradilan, sehingga hakim bisa merujuknya kembali bila diperlukan. Hakim pertama yang mencatat keputusannya adalah Sulaiman bin Anz at Tujaibi, hakim wilayah Mesir di zaman Mu’awiyah. Ketika beberapa orang berselisih kepadanya terkait dengan pembagian warisan, maka Sulaim menetapkan keputusan di antara mereka. Selanjutnya mereka berpisah dan saat mereka berkumpul, mereka kembali berselisih, mereka mulai mengingkaribdan mengelak dari keputusan Hakim Sulaim, maka mereka meminta kepada hakim untuk menetapkan kepada keputusan kedua.namun hakim Sulaim memerintahkan juru tulisnya agar mencatat keputusan-keputusan pengadilan dan menyusunnya menjadi sebuah kitab yang berisi keputusan-keputusannya dan selanjutnya dia menegakkan kesaksian atasnya.

4.      Para Pembantu Hakim
Biasanya hakim membutuhkan orang-orang yang membantunya dalam proses peradilan dan pengambilan keputusan, ada penulis hakim atau penulis mahkamah atau penulis mahkamah atau penulis peneliti. Di zaman Bani Umayyah muncul pembantu-pembantu hakim menurut tuntutan kebutuhan, perkembangan hidup dan luasnya tugas-tugas hakim serta banyaknya perkara yang harus ditangani.

a.       Juru panggil
Dia adalah orang yang duduk di majelis hakim untuk menjelaskan kedudukan hakim dan mengenalkannya, dan memanggil pihak yang berperkara. Orang ini disebut dengan orang yang ada diatas kepala hakim atau pemilik majelis.

b.      Pengawal
Dia adalah petugas yang berdiri di pintu hakim untuk menahan orang-orang selama proses kajian terhadap perkara, menata masuknya orang-orang yang berseteru manakala mereka berdesak-desakan karena jumlah mereka yang banyak. Pengawal ini bisa sekaligus pemanggil yang berdiri dibelakang kepala hakim, dia bertugas menjalankan dua pekerjaan sekaligus, bisa jadi dia adalah petugas keamanan dari unsur tentara atau dia memang petugas keamanan peradilan. Hakim terkadang menugasinya untuk melakukan sebagian pekerjaan di mahkamah atau menunaikan sebagian tugas luar.

c.       Penerjemah
Para hakim mengangkat penerjemah karena banyaknya orang-orang bukan Arab yang masuk Islam. Orang-orang tersebut saling mengenal sebagian dengan sebagian yang lain. Jika terjadi perselisihanatau gugatan atau klaim, maka hakim meminta bantuan penerjemah yang tsiqah dan diterima untuk menerjemahkan bahasa pihak yang berseteru ke dalam bahasa Arab.

5.      Pengawasan Dan Kontrol
Sesungguhnya berlepasnya para khalifah dan para gubernur dan hanya membatasi pada pengangkatan dan pemakzulan, tidak menutup kemungkinan para penguasa itu tetap mengawasi tugas-tugas para hakim, menelaah keputusan-keputusan mereka, memonitor gugatan-gugatan dan keputusan-keputusan yang mereka tetapkan.karena khalifah adalah penanggung jawab terhadap peradilan dan segala perkara yang khusus bagi umat dan pribadi dalam mengelola Agama dan dunia. Menyerahkan peradilan kepada para hakim tidak membebaskan khalifah dari tanggung jawa dunia dan akhirat. Dari sini maka para khalifah mengawasi kerja para hakim, memonitor apa yang mereka putuskan, bila terjadi kekeliruan atau penyimpangan atau keteledoran, maka mereka segera meluruskannya dan mengoreksinya.

6.      Sumber-Sumber Keputusan Hukum Peradilan
Para hakim di zaman pemerintahan Bani Umayyah berpijak kepada apa yang dipijak oleg para hakim di zaman Khulafaurrasyidin, yaitu berpegang kepada Al-Qur’an, Hadits, ijma’, keputusan-keputusan hakim pendahulu, dan ijtihad dengan musyawarah.

7.      Kewenangan Para Hakim Dan Spesialisasi Peradilan
Luasnya wilayah negara di zaman pemerintahan Bani Umayyah, banyaknya penduduk, kesibukan para khalifah dalam penaklukan, menata negara dan menghadapi fitnah-fitnah dari dalam, membuat mereka mengandalkan para hakim dan menyerahkan wewenang kepada mereka, para khalifah tidak lagi mengurusi masalah jinayat dan hudud, mereka menyerahkannya kepada hakim agar mengadilinya. Mu’awiyah dalah orang pertama yang menyerahkan masalah sengketa luka-melukai, pembunuhan dan qishash kepada hakim. Mu’awiyah menulis kepada hakim Sulaim bin Anz, hakim Mesir di zamannya agar mengurusi perkara luka-melukai dan melaporkannya kepada kepala kantor. Bila ada seseorang yang dilukai oleh orang lain, maka dia dibawa kepada hakim, dia membawa bukti atas pihak yang melukainya, maka hakim menetapkan ganti ruginya atas keluarga pihak yang melukainya, maka hakim menetapkan ganti ruginya atas keluarga pihak yang melukainya dan melaporkannya kepada kantor santunan negara, bila saat pembagian santunan telah tiba, maka bagian keluarga pihak yang melukai dipotong untuk membayar ganti rugi bagi pihak yang dilukai, pembayarnnya dicicil selama tiga tahun, dan inilah yang kemudian berjalan setelah itu.

Hakim di zaman pemerintahan Bani Umayyah menangani persoalan umum, masalah hak, harta, hukum-hukum keluarga, warisan, qishash dan hudud, hal ini terbaca dengan jelas dari sirah para hakim dan keputusan-keputusan mereka yang disebutkan oleh Waki’. Di zaman pemerintahan Bani Umayyah ini, hakim juga ditugasi pekerjaan lain, sebagian darinya mirip dengan peradilan dan seagian yang lain tidak mirip, diantara pekerjaan yang terpenting di zaman itu adalah mengawasi harta anak-anak yatim, mengawsi wakaf, dan memberi fatwa.

8.      Para Hakim Dan Tugas-Tugas Yang Bermacam-Macam
Mempertimbangkan bahwa para hakim adalah orang-orang yang dipercaya, mereka memiliki sifat keadilan dan kesucian akhlak, kebersihan hati dan ketakwaan, maka para Khalifah Bani Umayyah menyerahkan beberapa tugas (strategis), di antaranya:
a.       Kepolisian
Para hakim menjadi kepala kepolisian di samping tetap mengurusi tugas-tugasnya sebagai hakim. Para hakim itu menggabungkan kewenangan sebagai  dan kewenagan sebagai polisi dan hal ini terjadi di beberapa kota Islam. Waki’ meriwayatkan bahwa Mu’awiyah memaakzulkan Sa’id bin al-Ash sebagai gubernur Madinahtahun 53 H, dan menggantinya dengan Marwan bin al-Hakam, maka Marwan memakzulkan Abu Salamah bin Abdurrahman dan menggantikannya dengan saudaranya Mush’ab bin Abdurrahman bin Auf dan menggabungkan kepolisian kepadanya disamping peradilan. Mus’ab ini adalah orang yang keras dan tegas selama menjabat, dan manakala dia menjadi polisi, dia bertindak tegas terhadap masyarakat.

b.      Pemerintah
Sebagian hakim terkadang merangkap sebagai pejabat pemerintahan, sebagaimana khalifah menyerhkan urusannya kepada hakim bila dia sedang menunaikan  diluar Damaskus. Tidak sedikit para gubernur menunjuk hakim sebagai pengurus beberapa perkara, memimpin pemerintahan kota saat yang bersangkutan meninggalkannya atau saat ada tugas keluar kota.

9.      Nama-Nama Hakim Di Zaman Mu’awiyah
a.       Para hakim Damaskus yang paling terkenal
1)      Fadhlah bin Ubaid, yang diangkat oleh Mu’awiyah sebagai hakim di Syam atas usulan Abu ad-Darda’. Jabatan ini di pegang oleh Fadhlah sampai di wafat tahun 53 di zaman kekhalifahan Mu’awiyah. Fadhalah pernah menetapkan untuk tidak menetapkan hukuman had saat seorang laki-laki menghadap dengan membawa seorang yang di tuduh mencuri berikut barangnya. Maka Fadhlah berkata kepadanya, “Mungkin kamu menemukannya, mungkin kamu memungutnya.” Maka laki-laki yang menangkapnya berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, dia akan mengucapkannya.” Maka laki-laki yang dituduh mencuri berkata, “Ya, demi Allah, semoga Allah memberimu kebaikan, aku menemukannya.” Maka Fadhlah melepaskannya. Para fuqaha membolehkan mentalqin (mengingatkan) orang yang tertuduh dalam bidang hudud, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi kepada Ma’iz.
2)      An-Nu’man bin Basyir bin Sa’ad, Abu Idris al-Anshari al-Khazraji. Beliau adalah seorang sahabat yang memegang peradilan Syam setelah Fadhlah.

b.      Para Hakim Madinah
1)      Abu Hurairah, seorang sahabat yang mulia menjadi hakim di Madinah. Abu Hurairah tinggal di Madinah sampai wafat disana tahun 59 H.
2)      Abdullah bin al-Harits bin Naufal, adalah hakim pertama di Madinahuntuk gubernur Marwan bin al-Hakam di zaman Mu’awiyah. Dia adalah hakim pertama yang menetapkan hak atas keluarga Marwan, namun justru hal itu menambah kebaikan baginya di sisi Marwan. Dia memutuskan dengan berpijak kepada sumpah dan saksi satu orang. Wafat tahun 84 H. Dia termasuk ahli fikih yang shalih di kalangan kaum Muslimin.
3)      Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, yang wafat tahun 94 H, salah seorang tabi’in besar. Dia pernah meminta pemilik hak untuk bersumpah apabila hanya ada satu orang saksi.
4)      Mush’ab bin Abdurrahman bin Auf, yang wafat tahun 64 H. Dia adalah orang yang tegas dan keras selama menjabat. Saat dia menjabat, dia menerapkan ketegasan terkait dengan pembunuhan yang menyebar di Madinah.

c.       Para Hakim Bashrah
Peradilan Bashrah dijabat oleh banyak hakim. Diantara mereka adalah Umairah bin Yatsribi adh-Dhabbi yang diangkat oleh Abdullah bin Amir bin Kuraiz, gubernur Bashrah dari Mu’awiyah. Umaiah ini menetapkan bahwa barang pinjaman harus diganti bila hilang.

d.      Para Hakim di Kufah
Hakim paling kesohor di Kufah adalah Suraih al-Qadhi. Dia memegang peradilan mulai dari zaman Umar bin Khattab dan sepanjang zaman Khulafaurrasyidin sesudah Umar, dan juga masa yang sangat panjang dari zaman pemerintahan Bani Umayyah lebih dari tiga puluh lima tahun, lalu dia berhenti dizaman Abdullah bin Zubair, kemudian dia kembali ke kursi peradilan sampai dia mengundurkan dirinya tahun 78 H. Kemudian Masruq bin Al-Ajda’ al-Hamadi adalah hakim di Kufah yang di kenal dengan seorang yang mulia.

e.      Para Hakim di Mesir
Hakim Mesir yang paling terkenal di zaman Mu’awiyah adalah Sulaim bin Anz at-Tujaibi. Dia adalah hakim Mesir pertama di zaman Mu’awiyah bin Abu Sufyan tahun 40 H.

10.  Ciri Khas Peradilan di Zaman Mu’awiyah dan Zaman Bani Umayyah Secara Umum
a.       Peradilan di zaman ini masih sama dengan peradilan di zaman sebelumnya, zaman Nabi dan zaman Khulafaurrasyidin dalam pijakan-pijakan utamanya, aturan protokolernya, sarana dan tujuannya, kepanjangan dari peradilan sebelumnya dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, kebersihan, tematik, disamping tetap mempertimbangkan perkembangan dan kondisi yang ada di zaman kekhalifahan Bani Umayyah.
b.      Para hakim di zaman ini tetap menggunakan sarana-sarana pembuktian yang digunakan di zaman sebelumnya, zaman Khulafaurrasyidin, ditambah dengan firasat, menggunakan taktik atas tertuduh untuk membuka kebenaran dan mengungkap keadilan.
c.       Di zaman ini muncul sumber-sumber baru bagi hukum syar’i, yaitu urf (kebiasaan yang berlaku), ucapan sahabat, ijma’, penduduk Madinah dalam beberapa kondisi, disamping sumber-sumber pokok yang diamalkan di zaman Nabi yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta sumber ijtihadi di zaman Khulafaurrasyidin yaitu ijma’, qiyas, keputusan-keputusan peradilan sebelumnya dan pertimbangan akal.
d.      Para khalifah menunjuk hakim di Syam, terkadang mereka juga menunjuk hakim di daerah. Para gubernur juga menunjuk para hakim di wilayahnya dan berwenang memakzulkannya.
e.       Para khalifah dan gubernur berusaha memilih orang terbaik sebagai hakim dari kalangan para ulama, fuqaha, para tokoh dan orang-orang terpilih dimana mereka memiliki sifat-sifat syar’i sebagai hakim: takut kepada Allah, berpegang kepada kebenaran, mengamalkan syariat, dan menegakkan keadilan di antara manusia.
f.       Ada beberapa perubahan yang terlihat dalam proses peradilan di zaman ini, dan perubahan ini di tambahkan untuk pertama kalinya, yaitu:
1)      Dicatatnya keputusan pengadilan karena di khawatirkan terlupakan, juga demi menepis pengingkaran, dan meletakkan catatan ini dalam arsip khusus.
2)      Mengawasi wakaf agar ditangani secara baik dan tepat sasaran.
3)      Mengawasi hak anak yatim dan memonitor para wali yatim.
4)      Menyusun gugatan, menggunakan sistem antrian untuk masuk bagi pihak yang berperkara dan memanggil mereka dengan tertib.
5)      Adanya para pembantu bagi hakim, mereka adalah pemanggil, pengawal dan polisi.
6)      Bekerjasama dengan pihak kepolisian dalam menerapkan keputusan atas pihak yang berperkara
g.      Para hakim berijtihad dalam menetapkan keputusan pengadilan, mereka memiliki kebebasan mutlak dalam menggali hukum dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan tujuan-tujuan dasar syari’ah dan sumber-sumber hukum lainnya, mereka tidak terikat dengan pendapat khalifah, tidak berpegang kepada mazhab fikih tertentu, namun mereka tetap berunding dengan para ulama dan fuqaha dan mengundang mereka untuk hadir di majelis peradilan
h.      Para hakim tidak terpengaruh oleh kebijakan para penguasa dan khalifah. Para hakim bekerja secara independen. Kecenderungan politik, pemberontakan, perbedaan pemikiran, dan fitnah-fitnah dalam negeri tidak mempengaruhi kerja mereka.[4]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Keberhasilan Mu’awiyah medirikan Dinasti Umaiyyah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi di Siffin yang terbunuhnya khalifah Ali saja, dari sejarah semula gubernur Suriah itu memiliki ”basis rasional” yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. Petama adalah berupa dukungan yang kuat dari rakyat Suriah dan dari keluarga Bani Umaiyyah sendiri.
2.      Qadhi pada umumnya adalah seorang mujtahid, sehingga tidak ada Qadhi yang memegangi suatu pendapat tertentu, tetapi ia memutus perkara yang tidak ada ketentuan nashnya dari Al-Qur’an atau Sunnah Nabi saw. Atau ijma’, dengan pendapat dan ijtihadnya sendiri, dan apabila ia menemukan kesulitan dalam menentukan hukumnya, maka ia minta bantuan kepada ahli-ahli fikih yang berada di kota itu, dan baanyak diantara mereka yang berkonsultasi dengan khalifah atau penguasa dalam mencari suatu ketentuan pendapat.
3.       Hakim-hakim yang terkenal pada masa Mua’awiyah Fadhlah bin Ubaid, An-Nu’man bin Basyir bin Sa’ad, Abu Hurairah, Abdullah bin al-Harits bin Naufal, Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, Mush’ab bin Abdurrahman bin Auf, Umairah bin Yatsribi adh-Dhabbi, Masruq bin Al-Ajda’ al-Hamadi, Sulaim bin Anz at-Tujaibi.

B.     Saran
Demikian pembuatan makalah ini semoga dapat dijadikan proses pembelajaran khususnya dalam mengetahui tentang syar’u man qablana (syariat sebelum kami), ini dapat dijadikan acuan bagi pembaca untuk mendapat tambahan ilmu khususnya bagi kita semua.



DAFTAR PUSTAKA

Mufrodi, Ali. 1997. Islam Dikawasan kebudayaan Arab. Jakarta: Perpustakan Nasional.
Madkur , Muhammad Sakam. 1998. Peradilan Dalam Islam. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Ash-Shallabi, Ali Muhammad. 2013. Mu’awiyah bin Abu Sufyan.  Jakarta: Darul Haq.




[1] Ali Mufrodi, Islam Dikawasan kebudayaan Arab, (Jakarta: Perpustakan Nasional, 1997),  hlm. 69.
[2] Ibid, hlm. 72.
[3] Muhammad Sakam Madkur, Peradilan Dalam Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1998), hlm. 47.
[4] Ali Muhammad Ash-Shallabi, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, (Jakarta:Darul Haq, 2013), hlm. 508.