FIKIH
IBADAH
PENTINGNYA
IBADAH SHOLAT BAGI MANUSIA
OLEH
:
Nama : Nurul
Farhana Marpaung (21144013)
Juandi
Sitorus (21143030)
DOSEN
PEMBIMBING :
ARMIA, MA
AL-AKHWAL AS-SYAKHSYIAH
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SUMATERA
UTARA
MEDAN
2015
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................ i
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang............................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah........................................................................................ 1
C.
Tujuan ....... 1
BAB II
................................................................................................. SHOLAT
A.
Pengertian Sholat......................................................................................... 2
B.
Kewajiban Mengerjakan Sholat................................................................... 2
C.
Syarat-Syarat Melaksanakan Sholat............................................................. 6
D.
Waktu-Waktu Melaksanakan Sholat............................................................ 7
E.
Syarat-Syarat Sah Shalat............................................................................. 9
F.
Cara Mengerjakan Shalat........................................................................... 11
G.
Hikmah Melaksanakan Shalat.................................................................... 11
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan................................................................................................ 14
B.
Saran.......................................................................................................... 14
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Shalat
merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah mukallaf dan harus
dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam perjalanan. Shalat merupakan rukun
Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah
satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat, maka ia
mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat, maka ia meruntuhkan
agama (Islam). Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima
kali, berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang harus
dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun sakit.
Selain shalat wajib ada juga shalat-shalat sunah.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian Sholat?
2. Apa
dalil tentang wajib shalat?
3. Apa
syarat-syarat wajib shalat?
4. Kapan
waktu-waktu mengerjakan shalat?
5. Apa
syarat-syarat sah shalat?
6. Bagaimana
cara mengerjakan shalat?
7. Apa
hikmah dilaksanakannya shalat?
C. Tujuan
Makalah
Mengetahui tentang betapa pentingnya
ibadah shalat bagi kita dan hikmahnya terhadap kita.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Sholat
Menurut A.
Hasan, Baqha, Muhammad bin Qasim As-Syafi’i dan Rasyid, shalat menurut bahasa
Arab berarti berdo’a. Ditambahakan oleh Ash-Shiddiqy bahwa perkataan
shalat dalam bahasa Arab berarti do’a memohon kebajikan dan pujian. Sedangkan
secara hakekat mengandung pengertian “berhadap (jiwa) kepada Allah dan
mendatangkan takut kepadanya, serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa keagungan,
kebesaran-Nya dan kesempurnaan kekuasaannya.”[1]
Sholat yang
berarti do’a terlihat dari firman Allah dalam Surah At-Taubah ayat 103 yang
artinya:
“Dan
mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka”.
Adapun
menurut istilah syara’, shalat adalah ibadah yang dikerjakan umat Islam dimulai
dari takbirotul ihram dan diakhiri dengan salam, sesuai dengan syarat dan
rukunnya. Shalat merupakan pembuktian diri seorang muslim untuk mengabdi kepada
Allah dengan ketulusan dan kerendahan hati.[2]
Secara
dimensi Fikih shalat adalah beberapa ucapan atau rangkaian ucapan dan perbuatan
(gerakan) yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam yang dengannya
kita beribadah kepada Allah, dan menurut syarat-syarat yang telah di tentukan
oleh Agama.[3]
B. Kewajiban
Mengerjakan Shalat
Shalat
adalah kewajiban yang konstan dan absolut, untuk hamba sahaya dan kaum merdeka,
untuk si kaya dan si miskin, untuk orang yang sehat dan sakit, dan untuk yang
bepergian ataupun yang tidak bepergian. Kewajiban ini tidak gugur bagi siapa
saja yang sudah sampai pada usia baligh, dalam keadaan bagaimanapun juga, tidak
seperti puasa, zakat dan haji yang diwajibkan denga beberapa syarat dan sifat,
dalam waktu tertentu dan dengan batas yang tertentu pula.[4]
Solat
merupakan salah satu kewajiban yang menduduki kedua setelah syahadat dalam
rukun islam. Sehingga di dalam Al-Qur’an dan hadits banyak sekali dijelaskan
mengenai kewajiban untuk mengerjakan solat. Diantara dalil Al-Qur’an yang
menjelaskan mengenai kewaiban salat adalah:
Firman Allah
dalam surah Al-Bayyinah ayat 5:
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang
lurus.”
Firman-Nya
yang lain dalam surah An-Nisa ayat 103:
“Maka
apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri,
di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu Telah merasa aman,
Maka Dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah
fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
Firman-Nya
yang lain dalam Surah Al-Hajj ayat 78:
“Dan
berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. dia Telah
memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. dia (Allah) Telah menamai
kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu[993], dan (begitu pula) dalam (Al
Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua
menjadi saksi atas segenap manusia, Maka Dirikanlah solat, tunaikanlah zakat
dan berpeganglah kamu pada tali Allah. dia adalah Pelindungmu, Maka dialah
sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong”.
Firmannya
dalam Surah al-Ankabut ayat 45:
“Bacalah apa
yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan
mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Sedangkan
hadits-hadits yang menjelakan tentang kewajiban solat antara lain adalah:
عَنْ عَبْدِ
اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: بُنِيَ
اْلاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَ اَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَ اِقَامِ الصَّلاَةِ، وَ اِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَ
حَجّ اْلبَيْتِ وَ صَوْمِ رَمَضَانَ. احمد و البخارى و مسلم، فى نيل الاوطار 1:
333
Dari ‘Abdullah bin
‘Umar, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Islam itu terdiri atas lima
rukun. Mengakui bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan sesungguhnya
Muhammat itu adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, hajji ke Baitullah dan puasa Ramadlan. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim,
dalam Nailul Authar juz 1, hal. 333]
عَنْ جَابِرٍ
قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: بَيْنَ الرَّجُلِ وَ بَيْنَ اْلكُفْرِ تَرْكُ
الصَّلاَةِ. الجماعة الا البخارى و النسائى، فى نيل الاوطار 1: 340
Dari Jabir,
ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “(Yang membedakan) antara seseorang dan
kekufuran adalah meninggalkan shalat”. [HR. Jama’ah, kecuali Bukhari dan Nasai,
dalam Nailul Authar juz 1, hal. 340]
عَنْ
بُرَيْدَةَ رض قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: اَلْعَهْدُ الَّذِى
بَيْنَنَا وَ بَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ. فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ. الخمسة، فى
نيل الاوطار 1: 343
Dari
Buraidah RA, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Perjanjian
antara kami dan mereka adalah shalat, maka barangsiapa meninggalkannya, maka
sungguh ia telah kufur”. [HR. Khamsah, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 343]
عَنْ
طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ اَنَّ اَعْرَابِيًّا جَاءَ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ ص
ثَائِرَ الرَّأْسِ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَخْبِرْنِى مَا فَرَضَ اللهُ
عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ ! قَالَ: الصَّلَوَاتُ اْلخَمْسُ، اِلاَّ اَنْ تَطَوَّعَ
شَيْئًا. قَالَ: اَخْبِرْنِى مَا فَرَضَ اللهُ عَلَيَّ مِنَ الصّيَامِ ! قَالَ: شَهْرُ
رَمَضَانَ اِلاَّ اَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا. قَالَ: اَخْبِرْنِى مَا فَرَضَ اللهُ
عَلَيَّ مِنَ الزَّكَاةِ ! قَالَ: فَاَخْبَرَهُ رَسُوْلُ اللهِ ص بِشَرَائِعِ اْلاِسْلاَمِ
كُلّهَا. فَقَالَ: وَ الَّذِى اَكْرَمَكَ، لاَ اَطَّوَّعُ شَيْئًا وَ لاَ
اَنْقُصُ مِمَّا فَرَضَ اللهُ عَلَيَّ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.
اَفْلَحَ اِنْ صَدَقَ اَوْ دَخَلَ اْلجَنَّةَ اِنْ صَدَقَ. احمد و البخارى و مسلم،
فى نيل الاوطار 1: 335
Dari Thalhah
bin ‘Ubaidillah, bahwa seorang Arab gunung datang kepada Rasulullah SAW dalam
keadaan rambutnya kusut, lalu ia bertanya, “Ya Rasulullah, beritahukanlah
kepadaku, apa yang Allah wajibkan kepadaku dari shalat ?”. Beliau bersabda,
“Shalat-shalat yang lima, kecuali kamu mau melakukan yang sunnah”. Ia bertanya,
“Beritahukanlah kepadaku, apa yang Allah wajibkan kepadaku dari puasa ?”.
Beliau SAW bersabda, “Puasalah bulan Ramadlan, kecuali kamu mau melakukan yang
sunnah”. Ia bertanya lagi, “Beritahukanlah kepadaku, apa yang Allah wajibkan
kepadaku dari zakat ?’. Thalhah berkata : Lalu Rasulullah SAW memberitahukan
kepadanya tentang syariat-syariat Islam seluruhnya. Lalu orang Arab gunung itu
berkata, “Demi Allah yang telah memuliakan engkau, saya tidak akan menambah
sesuatu dan tidak akan mengurangi sedikitpun dari apa-apa yang telah diwajibkan
oleh Allah kepada saya”. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Pasti ia akan bahagia,
jika benar. Atau pasti ia akan masuk surga jika benar (ucapannya)”. [HR. Ahmad,
Bukhari dan Muslim][5]
عَنْ اَنَسِ
بْنَ مَالِكٍ رض قَالَ: فُرِضَتْ عَلَى النَّبِيّ ص الصَّلَوَاتُ لَيْلَةَ اُسْرِيَ
بِهِ خَمْسِيْنَ، ثُمَّ نُقِصَتْ حَتَّى جُعِلَتْ خَمْسًا. ثُمَّ نُوْدِيَ: يَا
مُحَمَّدُ اِنَّهُ لاَ يُبَدَّلُ اْلقَوْلُ لَدَيَّ وَ اِنَّ لَكَ بِهذِهِ
اْلخَمْسِ خَمْسِيْنَ. احمد و النسائى و الترمذى و صححه، فى نيل الاوطار 1: 334
Dari Anas
bin Malik RA, ia berkata : Diwajibkan shalat itu pada Nabi SAW pada malam
Isra’, lima puluh kali. Kemudian dikurangi sehingga menjadi lima kali, kemudian
Nabi dipanggil, “Ya Muhammad, sesungguhnya tidak diganti (diubah) ketetapan itu
di sisi-Ku. Dan sesungguhnya lima kali itu sama dengan lima puluh kali”. [HR.
Ahmad, Nasai dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi menshahihkannya, dalam Nailul Authar
juz 1, hal. 334]
عَنِ
الشَّعْبِيّ اَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَدْ فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ
رَكْعَتَيْنِ بِمَكَّةَ. فَلَمَّا قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ ص
اْلمَدِيْنَةَ زَادَ مَعَ كُلّ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ، اِلاَّ اْلمَغْرِبَ
فَاِنَّها وِتْرُ النَّهَارِ وَ صَلاَةُ اْلفَجْرِ لِطُوْلِ قِرَاءَتِهِمَا.
قَالَ: وَ كَانَ اِذَا سَافَرَ صَلَّى الصَّلاَةَ اْلاُوْلَى. احمد
Dari
‘Asy-Sya’bi bahwa ‘Aisyah RA pernah berkata : Sungguh telah difardlukan shalat
itu dua rekaat dua rekaat ketika di Makkah. Maka tatkala Rasulullah SAW tiba di
Madinah (Allah) menambah pada masing-masing dua rekaat itu dengan dua rekaat
(lagi), kecuali shalat Maghrib, karena sesungguhnya shalat Maghrib itu witirnya
siang, dan pada shalat Fajar (Shubuh), karena panjangnya bacaannya”. Asy-Sya’bi
berkata, “Dan adalah Rasulullah SAW apabila bepergian (safar), beliau shalat
sebagaimana pada awalnya (dua rekaat)”. [HR. Ahmad 6 : 241]
عَنْ عَبْدِ
اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ اْلعَاصِ عَنِ النَّبِيّ ص اَنَّهُ ذَكَرَ الصَّلاَةَ
يَوْمًا فَقَالَ: مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ
لَهُ نُوْرًا وَ بُرْهَانًا وَ نَجَاةً يَوْمَ اْلقِيَامَةِ. وَ مَنْ لَمْ
يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ تَكُنْ لَهُ نُوْرًا وَ لاَ بُرْهَانًا وَ لاَ نَجَاةً.
وَ كَانَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مَعَ قَارُوْنَ وَ فِرْعَوْنَ وَ هَامَانَ وَ اُبَيّ
بْنِ خَلَفٍ. احمد، فى نيل الاوطار 1: 343
Dari
‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash, dari Nabi SAW bahwa beliau pada suatu hari
menerangkan tentang shalat, lalu beliau bersabda, “Barangsiapa memeliharanya,
maka shalat itu baginya sebagai cahaya, bukti dan penyelamat pada hari qiyamat.
Dan barangsiapa tidak memeliharanya, maka shalat itu baginya tidak merupakan
cahaya, tidak sebagai bukti, dan tidak (pula) sebagai penyelamat. Dan adalah
dia pada hari qiyamat bersama-sama Qarun, Fir’aun, Haaman, dan Ubay bin
Khalaf”. [HR. Ahmad, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 343]
C. Syarat-syarat
Wajib Solat
Para ulama
membagi syarat shalat menjadi dua macam, pertama syarat wajib, dan
yang ke dua syarat sah. Syarat wajib adalah syarat yang
menyebabkan seseorang wajib melaksanakan shalat. Sedangkan syarat sah adalah
syarat yang menjadikan shalat seseorang diterima secara syara’ di samping
adanya kriteria lain seperti rukun.
Syarat wajib
salat adalah sebagai berikut:
1. Islam,
shalat diwajibkan terhadap orang muslim, baik laki-laki maupun perempuan, dan
tidak diwajibkan bagi orang kafir atau nin muslim. Orang kafir tidak dituntut
untuk melaksanakan shalat, namun mereka tetap menerima hukuman di akhirat.
Walaupun demikian orang kafir apabila masuk Islam tidak diwajibkan membayar
shalat yang ditinggalkannya selama kafir, demikian menurut kesepakatannya para
ulama. Allah SWT berfirman:
Katakanlah
kepada orang-orang yang kafir itu[609]: "Jika mereka berhenti (dari
kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka
yang sudah lalu. (QS 8:38)
Dari Amr bin
Ash bahwa Nabi SAW bersabda: islam memutuskan apa yang sebelumnya (sebelum
masuk islam). HR Ahmad, Al-Thabrani dan Al-baihaqi).
2. Baligh,
anak-anak kecil tidak dikenakan kewajiban shalat berdasarkan sabda Nabi SAW,
yang artinya:
Dari Ali
r.a. bahwa Nabi SAW berkata: Diangkatkan pena ( tidak ditulis dosa) dalam tiga
perkara: Orang gila yang akalnya tidak berperan sampai ia sembuh, orang tidur
sampai ia bangun dan dari anak-anak sampai dia baligh. (HR Ahmad,
Abu Daud dan Al-Hakim).
3. Berakal.
Orang gila, orang kurang akal (ma’tuh) dan sejenisnya seperti
penyakit sawan (ayan) yang sedang kambuh tidak diwajibkan shalat, karena akal
merupakan prinsip dalam menetapkan kewajiban (taklif), demikian
menurut pendapat jumhur ulama alasannya adalah hadits yang diterima dari Ali
r.a. yang artinya:
“dan dari
orang gila yang tidak berperan akalnya sampai dia sembuh”
Namun
demikian menurut Syafi’iyah disunatkan meng-qadha-nya apabila
sudh senbuh. Akan tetapi golongan Hanabilah berpendapat, bagi orang yang
tertutup akalnya karena sakit atau sawan (ayan) wajib mneg-qadha shalat. Hal
ini diqiyaskan kepada puasa, Karena puasa tidak gugur disebabkan penyakit
tersebut.[6]
D. Waktu-waktu Pelaksanaan Sholat
Shalat tidak
boleh dilaksanakan di sembarang waktu. Allah SWT. Dan Rasulullah SAW. telah
menentukan waktu-waktu pelaksanaan sholat yang benar menurut syariat islam.
Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an surat An- Nisa ayat 103 sebagai berikut:
“Maka
apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri,
di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu Telah merasa aman,
Maka Dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah
fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”.
Ayat
tersebut menetapkan bahwa shalat dilaksanakan sesuai dengan waktu-waktu yang
telah ditetapkan. Shalat yang lima waktu, memiliki lima waktu yang tertentu.
Dalam Al-Qur’an surat Hud ayat 114 menegaskan sebagai berikut:
“Dan
Dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada
bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik
itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi
orang-orang yang ingat”.
Dalam ayat
tersebut terdapat ketentuan waktu shalat, yaitu:
1. Tharfin-nahar, yaitu
pagi dan petang,
2. Zulfal-lail, permulaan
malam.
Ada sebuah
hadits tentang betapa pentingnya shalat tepat waktu, yang artinya:
“dari Abu Amr Asy-Syaibani, namanya Sa’d bin Iyas, Dia
berkata: pemilik rumah ini menceritakan kepadaku seraya menunjukkan tangannya
kerumah Abdullah Bin Mas’ud, dia berkata, “Aku betanya kepada Nabi, amal apa
yang paling disukai Allah?’ Beliau bersabda, ‘Shalat pada waktunya’. Aku
berkata ‘kemudian apa lagi?’ Beliau bersabda, ‘berbakti kepada kedua orangtua.’
Aku berkata, ‘ kemudian apa lagi ?’ Beliau bersabda, ‘Jihad dijalan Allah’.”[7]
Demikian
pula, dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 78 sebagai berikut:
“Dirikanlah shalat
dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula
shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”.
Ayat Ini
menerangkan waktu-waktu shalat yang lima. tergelincir matahari untuk waktu
shalat Zhuhur dan Ashar, gelap malam untuk waktu Magrib dan Isya.
Ayat
tersebut menetapkan waktu shalat wajib dengan bebereapa waktu, yaitu:
1. Dulukus-syams, yaitu
ketika tergelincir matahari;
2. Ghasakul-lail,
gelap malam (terbenam matahari);dan
3. Fajar,
waktu subuh.
Ketentuan
waktu shalat yang ditetapkan oleh Al-Qur’an menjelaskan bahwa semua pelaksanaan
shalat harus sesuai dengan waktu-waktu yang ditetapkan oleh syara’. Waktu
ketika matahari tergelincir hanya dimaksudkan untuk shalat zuhur, sedangka ketika
matahari mulai gelap hingga tak tampak lagi adalah waktu unutk shalat ashar,
magrib, dan isya. Adapun datangnya waktu fajar sebagai pertanda telah
diwajibkan melaksanakn shalat subuh.[8]
Agar lebih
terperinci, berikut dijelaskan mengenai waktu-waktu shalat tersebut:
1. Zuhur, sholat zuhur
waktunya mulai matahari condong ke arah barat dan berakhir sampai baying-bayang
suatu benda sama panjang atau lebih sedikit dari benda tersebut. Hal in
idapat dilihat kepada seseorang atau sebuah tiang yang berdiri, bilamana
bayang-bayangnya masih persis di tengah atau belum sampai, menandakan waktu
zuhur belum masuk.
2. Asar, shalat asar
waktunya mulai dari baying-bayang suatu benda lebih panjang dari bendanya
hingga terbenam matahari.[9] Kebanyakan
ulama berpendapat bahwa shalat ashar di waktu menguningnya cahaya matahari
sebelum terbenam hukumnya makruh.[10]
3. Magrib, shalat
magrib waktunya mulai terbenam matahari dan berakhir sampai hilangnya cahaya
awan merah.
4. Isya, shalat isya
waktunya mulai hilangnya cahaya awan merah dan berakhir hingga terbit fajar
shadiq.
E. Syarat-Syarat
Sah Sholat
Adapun
syarat sah sholat adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui
masuk waktu. Shalat tidak sah apabila seseorang yang melaksanakannya tidak
mengetahui secara pasti atau dengan persangkaan yang berat bahwa waktu telah
masuk, sekalipun ternyata dia shalat dalam waktunya. Demikian juga dengan orang
yang ragu, shalatnya tidak sah. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya
shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman”.(QS. An-Nisa:103).
2. Suci dari
hadas kecil dan hadas besar. Penyucian hadas kecil dengan wudu’ dan
penyucian hadas besar dengan mandi. Nabi Muhammad SAW bersabda, yang artinya:
“ Dari
Umar r.a. bahwa Nabi SAW bersabda: Allah tidak menerima shalat seseorang yang
tidak suci. (HR. Al-Jama’ah kecuali Al-Bukhari).
“ Dari
Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi SAW bersabda: Allah tidak menerima shalat seorang
kamu apabila berhadas hingga dia bersuci. (HR. Bukhari
dan Muslim).
3. Suci badan,
pakaian dan tempat dari na’jis hakiki. Untuk keabsahan shalat disyariatkan suci
badan, pakaian dan tempat dari na’is yang tidak dimaafkan, demikian menurut
pendapat jumhur ulama tetapi menurut pendapat yang masyhur dari golongan
Malikiyah adalah sunnah muakkad.
4. Menutup
aurat. Seseorang yang shalat disyaratkan menutup aurat, baik sendiri
dalamkeadaan terang maupun sendiri dalam gelap. Allah SWT berfirman:
“Pakailah
pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid”(QS. 4:31).
5. Menghadap
kiblat. Allah SWT. berfirman:
“Dan dari
mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan
dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke arahnya. (QS.
2:150)
Mengahadap
kiblat dikecualikan bagi orang yag melaksanakan sholat
Al-khauf dan sholat sunat di atas kendaraan bagi orang musafir dalam
perjalanan. Golongan Malikiyah mengaitkan dengan situasi aman dari musuh,
binatang buas dan ada kesanggupan. Oleh karena itu tidak wajib mengahadap
kiblat apabila ketakutan atau tidak sanggup (lemah) setiap orang sakit.
Ulama
sepakat bagi orang yang menyaksikan ka’bah wajib menghadap ke ka’bah sendiri
secara tepat. Akan tetapi bagi orang yang tidak menyaksikannya, karena jauh di
luar kota Makkah, hanya wajib menghadapkan muka ke arah ka’bah, demikian
pendapat jumhur ulama. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat mesti menghadapkan
muka ke ka’bah itu sendiri sebagaimana halnya orang yang berada di kota Mkkah. Caranya
mesti di niatkan dalam hati bahwa menghadap itu tepat pada ka’bah.[12]
F. Cara
Mengerjakan Shalat
Menurut
golongan Syafi’iyah rukun shalat ada tiga belas yaitu:
1. Niat,
2. Takbirtul
Ihram,
3. Berdiri
pada shalat fardhu bagi yang sanggup,
4. Membaca
al-fatihah bagi setiap orang yang shalat kecuali ada uzur seperti terlambat
mengkuti imam (masbuq)
5. Ruku’,
6. Sujud
dua kali setiap rakaat,
7. Duduk
antara dua sujud,
8. Membaca
tasyahud akhir,
9. Duduk
pada tasyahud akhir,
10. Solawat kepada Nabi SAW setelah tasyahud
akhir,
11. Duduk di waktu membaca salawat,
12. Mengucapkan salam,
13. Tertib.[13]
G. Hikmah Mengerjakan
Shalat
Dari sudut religious shalat merupakan hubungan
langsung antara hamba dengan khaliq-nya yang di dalamnya terkandung
kenikmatan munajat, pernyataan ubudiyah, penyerahan segala urusan kepada Allah,
keamanan dan ketentraman serta perolehan keuntungan. Di samping itu dia
merupakan suatu cara untuk memperoleh kemenangan serta menahan
seseorang dari berbuat kejahatan dan kesalahan. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman,,(yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam
sembahyangnya,”[14]
Allah
menjadikan dalam shalat sesuatu kekuatan yang ampuh yang dapat menarik orang
mukmin kepada pencarian nilai keimanan. Dengan memelihara shalat, manusia
menjadi mulia dan hati dapat merasakan lezatnya keagungan dan hakikat manusia
itu sendiri. Sesungguhnya Allah menjadikan shalat sebagai sarana komunikasi
antara Dia dan para hamba-Nya, menjadikan shalat sebagai pendekatan orang yang
cinta dan ma’rifat pada-Nya, penyebab untuk pendekatan kepada-Nya dan untuk
mendatangkan pertolongan/bantuan-Nya.[15]
Dalam gerakan
sholat mempunyai hikmah tersendiri yaitu ketika meletakkan tangan kanannya di
atas tangan kirinya di atas pusar. Hikmah dan rahasianya agar tidak tertarik ke
alam keluhuran yang merupakan tempat rahasia langit. Saat itu ia rindu untuk
naik ke atas menuju cahaya Rabbani. Juga
agar tidak tertarik ke alam terendah yang merupakan tempat menyimpan rahasia
bumi. Kemudian jika meletakkan wajah ke tanah yang bermakna sujud mengandung
hikmah dan rahasia sebagai pernyataan ketundukan dan kepatuhan kepada yang menciptakan
yaitu Allah SWT.[16]
Secara
individual shalat merupakan pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah
SWT , menguatkan iwa dan keinginan, semata-mata mengagungkan Allah SWT, bukan
berlomba-lomba untuk memperturutkan hawa nafsu dalam mencapai kemegahan dan
mengumpulkan harta. Di samping itu shalat merupakan peristirahatan diri dan
ketenangan jiwa sesudah melakukan kesibukan dalam menghadapi aktivitas dunia.
Allah SWT
berfirma:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Shalat
mengajar seseorang untuk berdisiplin dan menta’ati berbagai
peraturandan etika dalam kehidupan dunia. Hal ini terlihat dari penetapan waktu
sholat yang mesti di pelihara oleh setiap muslim dan tata tertib yang
terkandung di dalamnya. Dengan demikan orang yang melakukan shalat akan
memahami peraturan, nilai dan sopan santun, ketentraman dan mengkonsentrasikan
pikiran kepada hal-hal yang bermamfaat, karena shalat penuh dengan pengertian
ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung nilai-nilai tersebut.
Dari segi
social kemasyarakatan shalat merupakan pengakuan aqidah setiap anggota
masyarakat dan kekuatan jiwa mereka yang berimplikasi terhadap persatuan dan
kesatuan umat. Persatuan dan kesatuan ini menumbuhkan hubungan
social yang harmonis dan kesamaan pemikiran dalam menghadapi segalam
problema kehidupan social kemasyarakatan.[17]
Di antara hadis-hadis
yang menerangkan keutamaan sholat adalah hadis riwayat Ubadah bin Shamit. Dia
mendengar Rasulullah saw bersabda, “Allah
mewajibkan shalat fardhu lima kali. Barangsiapa yang melaksanakannya maka Allah
sedikitpun tidak akan menyia-nyiakan ganjarannya, serta Allah telah
berjanjiuntuk memasukkannya ke surga. Akan tetapi, apabila sesorang
meninggalkannya maka Allah tak menjanjikan apapun untuknya. Apabila Dia
berkehendak, Dia akan menyiksanya dan apabila Dia berkehendak dia kan
mengampuninya,” (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Abdullah
bin Abdurrahman meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Shalat adalah kunci (untuk masuk) surga.”
Dalam
Al-Qur’an juga ditegaskan bahwa shalat adalah salah satu jalan yang menyebabkan
turunnya rahmat Allah swt. Allah berfirman, “Dirikanlah
sholat dan tunaikanlah zakat, serta taatlah kepada Rasul supaya engkau diberi
rahmat.” (QS. An-Nur: 56)
Pada ayat lain
Allah berfirman, (QS. At-Taubah: 11) allah juga menegaskan bahwa orang-orang
yang beriman adalah mereka yang segera bersujud ketika di sebut ayat-ayat Allah. (QS. As-Sajdah: 15) sujud adalah
bagian dari sholat. Dengan demikin, orang yang tidak sujud berarti meninggalkan
shalat bukanlah orang yang beriman.[18]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Shalat
merupakan penyerahan diri secara talalitas untuk menghadap Tuhan, dengan
perkataan dan perbuatan menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’.
2. Shalat
merupakan kewajiban bagi kaum muslimin yang mukallaf tanpa kecuali
3. Hikmah
sholat antara lain:
a. Shalat
merupakan syarat menjadi takwa.
b. Shalat
Merupakan Benteng Kemaksiatan
c. Shalat
Mendidik Perbuatan Baik Dan Jujur
d. Shalat
Akan membangun etos kerja
B. Saran
Demikian pembuatan makalah ini semoga dapat dijadikan proses pembelajaran
khususnya dalam mengetahui tentang shalat dan pentingnya ibadah sholat, ini
dapat dijadikan acuan bagi pembaca untuk mendapat tambahan ilmu khususnya bagi
kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Muhammad Yunus Bin. Dimanakah Shalat Yang Khusyu’?. T.th. Semarang: CV. Asy
Syifa’
Abidin, S. A.
Zainal. Kunci Ibadah. 2001. Semarang: PT. Karya Toha Putra
Al
Id, Ibnu Daqiq. Ihkamul Ahkam Syarh
Umdatul Ahka. 2012. Jakarta: Pustakaazzam
Al-Jurjawi,
Syaikh Ali Ahmad. Indahnya Syariat Islam.
2013. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
An-Nadwi,
Abulhasan Ali Abdul Hayyi Al-Hasani. Empat
Sendi Agama Islam. 1992. Jakarta:
PT. Melton Putra
El
Fikri, Syahruddin. Sejarah Ibadah. 2014.
Jakarta: Republika Penerbit
Hamid,
Abdul. Beni HMd Saebani. Fiqh Ibadah. 2009. Bandung: Pustaka
Setia
Haryono,
Sentot. Psikologi Salat. 2003. Yogyakarta: Mitra Pustaka
Mahalli,
Ahmad Mudjab. Hadis-Hadis Muttafaq Alaih.
2003. Jakarta: Prenada Media
Ritoga, A. Rahman
dan Zainuddin. Fiqh Ibadah. 2002. Jakarta: Gaya Media
Pratama
Syafa’i,
Jalal Muhammad. The Power of Shalat. 2006. Bandung: MQ Publishing
[1] Sentot Haryono, Psikologi Salat, (Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 2003), hlm. 59.
[2] Syahruddin El Fikri, Sejarah Ibadah, (Jakarta: Republika
Penerbit, 2014), hlm. 30.
[4] Abulhasan Ali Abdul Hayyi
Al-Hasani An-Nadwi, Empat Sendi Agama
Islam, (Jakarta: PT. Melton Putra, 1992), hlm. 21.
[5] Ahmad Mudjab Mahalli, Hadis-Hadis Muttafaq Alaih, (Jakarta:
Prenada Media, 2003), hlm. 29.
[7] Ibnu Daqiq Al Id, Ihkamul Ahkam Syarh Umdatul Ahkam, (Jakarta:
Pustakaazzam, 2012), hlm. 213.
[15] Muhammad Yunus Bin Abdullah, Dimanakah Shalat Yang Khusyu’?,
(Semarang: CV. Asy Syifa’, t.th), hlm. 50.
[16] Syaikh Ali Ahmad Al-Jurjawi, Indahnya Syariat Islam, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2013), hlm. 79.
[18] Jalal Muhammad Syafa’i, The Power of Shalat, (Bandung: MQ
Publishing, 2006) hlm. 47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar