Jumat, 30 Oktober 2015

Makalah Fikih Ibadah Tentang Sholat




FIKIH IBADAH
PENTINGNYA IBADAH SHOLAT BAGI MANUSIA













 







OLEH :

Nama                :     Nurul Farhana Marpaung       (21144013)
                                Juandi Sitorus                           (21143030)
                               
DOSEN PEMBIMBING :
ARMIA, MA

 
 
AL-AKHWAL AS-SYAKHSYIAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2015

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................ i
BAB           I     PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang............................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................................ 1
C.     Tujuan                                                                                                    ....... 1
BAB           II   ................................................................................................. SHOLAT
A.    Pengertian Sholat......................................................................................... 2
B.     Kewajiban Mengerjakan Sholat................................................................... 2
C.     Syarat-Syarat Melaksanakan Sholat............................................................. 6
D.    Waktu-Waktu Melaksanakan Sholat............................................................ 7
E.     Syarat-Syarat  Sah Shalat............................................................................. 9
F.      Cara Mengerjakan Shalat........................................................................... 11
G.    Hikmah Melaksanakan Shalat.................................................................... 11
BAB           III  PENUTUP                               
A.    Kesimpulan................................................................................................ 14
B.     Saran.......................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 15


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah mukallaf dan harus dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam perjalanan. Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat, maka ia mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat, maka ia meruntuhkan agama (Islam). Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali, berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang harus dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun sakit. Selain shalat wajib ada juga shalat-shalat sunah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Sholat?
2.      Apa dalil tentang wajib shalat?
3.      Apa syarat-syarat  wajib shalat?
4.      Kapan waktu-waktu mengerjakan shalat?
5.      Apa syarat-syarat  sah shalat?
6.      Bagaimana cara mengerjakan shalat?
7.      Apa hikmah dilaksanakannya shalat?
C.     Tujuan Makalah
Mengetahui tentang betapa pentingnya ibadah shalat bagi kita dan hikmahnya terhadap kita.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sholat

Menurut  A. Hasan, Baqha, Muhammad bin Qasim As-Syafi’i dan Rasyid, shalat menurut bahasa Arab berarti berdo’a. Ditambahakan oleh Ash-Shiddiqy bahwa perkataan shalat dalam bahasa Arab berarti do’a memohon kebajikan dan pujian. Sedangkan secara hakekat mengandung pengertian “berhadap (jiwa) kepada Allah dan mendatangkan takut kepadanya, serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa keagungan, kebesaran-Nya dan kesempurnaan kekuasaannya.”[1]

Sholat yang berarti do’a terlihat dari firman Allah dalam Surah At-Taubah ayat 103 yang artinya:
“Dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka”.

Adapun menurut istilah syara’, shalat adalah ibadah yang dikerjakan umat Islam dimulai dari takbirotul ihram dan diakhiri dengan salam, sesuai dengan syarat dan rukunnya. Shalat merupakan pembuktian diri seorang muslim untuk mengabdi kepada Allah dengan ketulusan dan kerendahan hati.[2]

Secara dimensi Fikih shalat adalah beberapa ucapan atau rangkaian ucapan dan perbuatan (gerakan) yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam yang dengannya kita beribadah kepada Allah, dan menurut syarat-syarat yang telah di tentukan oleh Agama.[3]

B.     Kewajiban Mengerjakan Shalat

Shalat adalah kewajiban yang konstan dan absolut, untuk hamba sahaya dan kaum merdeka, untuk si kaya dan si miskin, untuk orang yang sehat dan sakit, dan untuk yang bepergian ataupun yang tidak bepergian. Kewajiban ini tidak gugur bagi siapa saja yang sudah sampai pada usia baligh, dalam keadaan bagaimanapun juga, tidak seperti puasa, zakat dan haji yang diwajibkan denga beberapa syarat dan sifat, dalam waktu tertentu dan dengan batas yang tertentu pula.[4]

Solat merupakan salah satu kewajiban yang menduduki kedua setelah syahadat dalam rukun islam. Sehingga di dalam Al-Qur’an dan hadits banyak sekali dijelaskan mengenai kewajiban untuk mengerjakan solat. Diantara dalil Al-Qur’an yang menjelaskan mengenai kewaiban salat adalah:
Firman Allah dalam surah Al-Bayyinah ayat 5:

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.”

Firman-Nya yang lain dalam surah An-Nisa ayat 103:
“Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu Telah merasa aman, Maka Dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”

Firman-Nya yang lain dalam Surah Al-Hajj ayat 78:
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. dia Telah memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. dia (Allah) Telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu[993], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka Dirikanlah solat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. dia adalah Pelindungmu, Maka dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong”.

Firmannya dalam Surah al-Ankabut ayat 45:
“Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Sedangkan hadits-hadits yang menjelakan tentang kewajiban solat antara lain adalah:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: بُنِيَ اْلاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَ اِقَامِ الصَّلاَةِ، وَ اِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَ حَجّ اْلبَيْتِ وَ صَوْمِ رَمَضَانَ. احمد و البخارى و مسلم، فى نيل الاوطار 1:
 333
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Islam itu terdiri atas lima rukun. Mengakui bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan sesungguhnya Muhammat itu adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, hajji ke Baitullah dan puasa Ramadlan. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 333]

عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: بَيْنَ الرَّجُلِ وَ بَيْنَ اْلكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ. الجماعة الا البخارى و النسائى، فى نيل الاوطار 1: 340
Dari Jabir, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “(Yang membedakan) antara seseorang dan kekufuran adalah meninggalkan shalat”. [HR. Jama’ah, kecuali Bukhari dan Nasai, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 340]

عَنْ بُرَيْدَةَ رض قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: اَلْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَ بَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ. فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ. الخمسة، فى نيل الاوطار 1: 343
Dari Buraidah RA, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat, maka barangsiapa meninggalkannya, maka sungguh ia telah kufur”. [HR. Khamsah, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 343]

عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ اَنَّ اَعْرَابِيًّا جَاءَ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ ص ثَائِرَ الرَّأْسِ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَخْبِرْنِى مَا فَرَضَ اللهُ عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ ! قَالَ: الصَّلَوَاتُ اْلخَمْسُ، اِلاَّ اَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا. قَالَ: اَخْبِرْنِى مَا فَرَضَ اللهُ عَلَيَّ مِنَ الصّيَامِ ! قَالَ: شَهْرُ رَمَضَانَ اِلاَّ اَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا. قَالَاَخْبِرْنِى مَا فَرَضَ اللهُ عَلَيَّ مِنَ الزَّكَاةِ ! قَالَفَاَخْبَرَهُ رَسُوْلُ اللهِ ص بِشَرَائِعِ اْلاِسْلاَمِ كُلّهَا. فَقَالَوَ الَّذِى اَكْرَمَكَ، لاَ اَطَّوَّعُ شَيْئًا وَ لاَ اَنْقُصُ مِمَّا فَرَضَ اللهُ عَلَيَّ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص. اَفْلَحَ اِنْ صَدَقَ اَوْ دَخَلَ اْلجَنَّةَ اِنْ صَدَقَ. احمد و البخارى و مسلم، فى نيل الاوطار 1: 335
Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah, bahwa seorang Arab gunung datang kepada Rasulullah SAW dalam keadaan rambutnya kusut, lalu ia bertanya, “Ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku, apa yang Allah wajibkan kepadaku dari shalat ?”. Beliau bersabda, “Shalat-shalat yang lima, kecuali kamu mau melakukan yang sunnah”. Ia bertanya, “Beritahukanlah kepadaku, apa yang Allah wajibkan kepadaku dari puasa ?”. Beliau SAW bersabda, “Puasalah bulan Ramadlan, kecuali kamu mau melakukan yang sunnah”. Ia bertanya lagi, “Beritahukanlah kepadaku, apa yang Allah wajibkan kepadaku dari zakat ?’. Thalhah berkata : Lalu Rasulullah SAW memberitahukan kepadanya tentang syariat-syariat Islam seluruhnya. Lalu orang Arab gunung itu berkata, “Demi Allah yang telah memuliakan engkau, saya tidak akan menambah sesuatu dan tidak akan mengurangi sedikitpun dari apa-apa yang telah diwajibkan oleh Allah kepada saya”. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Pasti ia akan bahagia, jika benar. Atau pasti ia akan masuk surga jika benar (ucapannya)”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim][5]

عَنْ اَنَسِ بْنَ مَالِكٍ رض قَالَفُرِضَتْ عَلَى النَّبِيّ ص الصَّلَوَاتُ لَيْلَةَ اُسْرِيَ بِهِ خَمْسِيْنَ، ثُمَّ نُقِصَتْ حَتَّى جُعِلَتْ خَمْسًا. ثُمَّ نُوْدِيَ: يَا مُحَمَّدُ اِنَّهُ لاَ يُبَدَّلُ اْلقَوْلُ لَدَيَّ وَ اِنَّ لَكَ بِهذِهِ اْلخَمْسِ خَمْسِيْنَ. احمد و النسائى و الترمذى و صححه، فى نيل الاوطار 1: 334
Dari Anas bin Malik RA, ia berkata : Diwajibkan shalat itu pada Nabi SAW pada malam Isra’, lima puluh kali. Kemudian dikurangi sehingga menjadi lima kali, kemudian Nabi dipanggil, “Ya Muhammad, sesungguhnya tidak diganti (diubah) ketetapan itu di sisi-Ku. Dan sesungguhnya lima kali itu sama dengan lima puluh kali”. [HR. Ahmad, Nasai dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi menshahihkannya, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 334]

عَنِ الشَّعْبِيّ اَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَدْ فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ بِمَكَّةَفَلَمَّا قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ ص اْلمَدِيْنَةَ زَادَ مَعَ كُلّ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ، اِلاَّ اْلمَغْرِبَ فَاِنَّها وِتْرُ النَّهَارِ وَ صَلاَةُ اْلفَجْرِ لِطُوْلِ قِرَاءَتِهِمَا. قَالَ: وَ كَانَ اِذَا سَافَرَ صَلَّى الصَّلاَةَ اْلاُوْلَى. احمد
Dari ‘Asy-Sya’bi bahwa ‘Aisyah RA pernah berkata : Sungguh telah difardlukan shalat itu dua rekaat dua rekaat ketika di Makkah. Maka tatkala Rasulullah SAW tiba di Madinah (Allah) menambah pada masing-masing dua rekaat itu dengan dua rekaat (lagi), kecuali shalat Maghrib, karena sesungguhnya shalat Maghrib itu witirnya siang, dan pada shalat Fajar (Shubuh), karena panjangnya bacaannya”. Asy-Sya’bi berkata, “Dan adalah Rasulullah SAW apabila bepergian (safar), beliau shalat sebagaimana pada awalnya (dua rekaat)”. [HR. Ahmad 6 : 241]

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ اْلعَاصِ عَنِ النَّبِيّ ص اَنَّهُ ذَكَرَ الصَّلاَةَ
 يَوْمًا فَقَالَمَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُوْرًا وَ بُرْهَانًا وَ نَجَاةً يَوْمَ اْلقِيَامَةِ. وَ مَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ تَكُنْ لَهُ نُوْرًا وَ لاَ بُرْهَانًا وَ لاَ نَجَاةً. وَ كَانَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مَعَ قَارُوْنَ وَ فِرْعَوْنَ وَ هَامَانَ وَ اُبَيّ بْنِ خَلَفٍ. احمد، فى نيل الاوطار 1: 343
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash, dari Nabi SAW bahwa beliau pada suatu hari menerangkan tentang shalat, lalu beliau bersabda, “Barangsiapa memeliharanya, maka shalat itu baginya sebagai cahaya, bukti dan penyelamat pada hari qiyamat. Dan barangsiapa tidak memeliharanya, maka shalat itu baginya tidak merupakan cahaya, tidak sebagai bukti, dan tidak (pula) sebagai penyelamat. Dan adalah dia pada hari qiyamat bersama-sama Qarun, Fir’aun, Haaman, dan Ubay bin Khalaf”. [HR. Ahmad, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 343]

C.    Syarat-syarat Wajib Solat

Para ulama membagi syarat shalat menjadi dua macam, pertama syarat wajib, dan yang ke dua syarat sah. Syarat wajib adalah syarat yang menyebabkan seseorang wajib melaksanakan shalat. Sedangkan syarat sah adalah syarat yang menjadikan shalat seseorang diterima secara syara’ di samping adanya kriteria lain seperti rukun.

Syarat wajib salat adalah sebagai berikut:
1.    Islam, shalat diwajibkan terhadap orang muslim, baik laki-laki maupun perempuan, dan tidak diwajibkan bagi orang kafir atau nin muslim. Orang kafir tidak dituntut untuk melaksanakan shalat, namun mereka tetap menerima hukuman di akhirat. Walaupun demikian orang kafir apabila masuk Islam tidak diwajibkan membayar shalat yang ditinggalkannya selama kafir, demikian menurut kesepakatannya para ulama. Allah SWT berfirman:
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu[609]: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu. (QS 8:38)

Dari Amr bin Ash bahwa Nabi SAW bersabda: islam memutuskan apa yang sebelumnya (sebelum masuk islam). HR Ahmad, Al-Thabrani dan Al-baihaqi).

2.    Baligh, anak-anak kecil tidak dikenakan kewajiban shalat berdasarkan sabda Nabi SAW, yang artinya:
Dari Ali r.a. bahwa Nabi SAW berkata: Diangkatkan pena ( tidak ditulis dosa) dalam tiga perkara: Orang gila yang akalnya tidak berperan sampai ia sembuh, orang tidur sampai ia bangun dan dari anak-anak sampai dia baligh. (HR Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim).

3.    Berakal. Orang gila, orang kurang akal (ma’tuh) dan sejenisnya seperti penyakit sawan (ayan) yang sedang kambuh tidak diwajibkan shalat, karena akal merupakan prinsip dalam  menetapkan kewajiban (taklif), demikian menurut pendapat jumhur ulama alasannya adalah hadits yang diterima dari Ali r.a. yang artinya:
“dan dari orang gila yang tidak berperan akalnya sampai dia sembuh”

Namun demikian menurut Syafi’iyah disunatkan meng-qadha-nya  apabila sudh senbuh. Akan tetapi golongan Hanabilah berpendapat, bagi orang yang tertutup akalnya karena sakit atau sawan (ayan) wajib mneg-qadha shalat. Hal ini diqiyaskan kepada puasa, Karena puasa tidak gugur disebabkan penyakit tersebut.[6]

D.    Waktu-waktu Pelaksanaan Sholat
Shalat tidak boleh dilaksanakan di sembarang waktu. Allah SWT. Dan Rasulullah SAW. telah menentukan waktu-waktu pelaksanaan sholat yang benar menurut syariat islam. Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an surat An- Nisa ayat 103 sebagai berikut:

“Maka apabila kamu Telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu Telah merasa aman, Maka Dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”.

Ayat tersebut menetapkan bahwa shalat dilaksanakan sesuai dengan waktu-waktu yang telah ditetapkan. Shalat yang lima waktu, memiliki lima waktu yang tertentu. Dalam Al-Qur’an surat Hud ayat 114 menegaskan sebagai berikut:

Dan Dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat”.

Dalam ayat tersebut terdapat ketentuan waktu shalat, yaitu:
1.      Tharfin-nahar, yaitu pagi dan petang,
2.      Zulfal-lail, permulaan malam.

Ada sebuah hadits tentang betapa pentingnya shalat tepat waktu, yang artinya:
“dari Abu Amr Asy-Syaibani, namanya Sa’d bin Iyas, Dia berkata: pemilik rumah ini menceritakan kepadaku seraya menunjukkan tangannya kerumah Abdullah Bin Mas’ud, dia berkata, “Aku betanya kepada Nabi, amal apa yang paling disukai Allah?’ Beliau bersabda, ‘Shalat pada waktunya’. Aku berkata ‘kemudian apa lagi?’ Beliau bersabda, ‘berbakti kepada kedua orangtua.’ Aku berkata, ‘ kemudian apa lagi ?’ Beliau bersabda, ‘Jihad dijalan Allah’.”[7]

Demikian pula, dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 78 sebagai berikut:

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”.

Ayat Ini menerangkan waktu-waktu shalat yang lima. tergelincir matahari untuk waktu shalat Zhuhur dan Ashar, gelap malam untuk waktu Magrib dan Isya.
Ayat tersebut menetapkan waktu shalat wajib dengan bebereapa waktu, yaitu:
1.      Dulukus-syams, yaitu ketika tergelincir matahari;
2.      Ghasakul-lail, gelap malam (terbenam matahari);dan
3.      Fajar, waktu subuh.
Ketentuan waktu shalat yang ditetapkan oleh Al-Qur’an menjelaskan bahwa semua pelaksanaan shalat harus sesuai dengan waktu-waktu yang ditetapkan oleh syara’. Waktu ketika matahari tergelincir hanya dimaksudkan untuk shalat zuhur, sedangka ketika matahari mulai gelap hingga tak tampak lagi adalah waktu unutk shalat ashar, magrib, dan isya. Adapun datangnya waktu fajar sebagai pertanda telah diwajibkan melaksanakn shalat subuh.[8]
Agar lebih terperinci, berikut dijelaskan mengenai waktu-waktu shalat tersebut:

1.      Zuhur, sholat zuhur waktunya mulai matahari condong ke arah barat dan berakhir sampai baying-bayang suatu benda sama panjang atau lebih sedikit dari benda tersebut. Hal in idapat dilihat kepada seseorang atau sebuah tiang yang berdiri, bilamana bayang-bayangnya masih persis di tengah atau belum sampai, menandakan waktu zuhur belum masuk.
2.      Asar, shalat asar waktunya mulai dari baying-bayang suatu benda lebih panjang dari bendanya hingga terbenam matahari.[9]  Kebanyakan ulama berpendapat bahwa shalat ashar di waktu menguningnya cahaya matahari sebelum terbenam hukumnya makruh.[10]
3.      Magrib, shalat magrib waktunya mulai terbenam matahari dan berakhir sampai hilangnya cahaya awan merah.
4.      Isya, shalat isya waktunya mulai hilangnya cahaya awan merah dan berakhir hingga terbit fajar shadiq.
5.      Subuh, shalat subuh, waktunya dari mulai terbit fajar shadiq hingga terbit matahari.[11]

E.     Syarat-Syarat Sah Sholat

Adapun syarat sah sholat adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui masuk waktu. Shalat tidak sah apabila seseorang yang melaksanakannya tidak mengetahui secara pasti atau dengan persangkaan yang berat bahwa waktu telah masuk, sekalipun ternyata dia shalat dalam waktunya. Demikian juga dengan orang yang ragu, shalatnya tidak sah. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”.(QS. An-Nisa:103).

2.      Suci dari hadas kecil dan hadas besar. Penyucian hadas kecil dengan wudu’ dan penyucian hadas besar dengan mandi. Nabi Muhammad SAW bersabda, yang artinya:
“ Dari Umar r.a. bahwa Nabi SAW bersabda: Allah tidak menerima shalat seseorang yang tidak suci. (HR. Al-Jama’ah kecuali Al-Bukhari).
“ Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi SAW bersabda: Allah tidak menerima shalat seorang kamu  apabila berhadas hingga dia bersuci. (HR. Bukhari dan Muslim).

3.      Suci badan, pakaian dan tempat dari na’jis hakiki. Untuk keabsahan shalat disyariatkan suci badan, pakaian dan tempat dari na’is yang tidak dimaafkan, demikian menurut pendapat jumhur ulama tetapi menurut pendapat yang masyhur dari golongan Malikiyah adalah sunnah muakkad.

4.      Menutup aurat. Seseorang yang shalat disyaratkan menutup aurat, baik sendiri dalamkeadaan terang maupun sendiri dalam gelap. Allah SWT berfirman:
“Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid”(QS. 4:31).

5.      Menghadap kiblat. Allah SWT. berfirman:
“Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke arahnya. (QS. 2:150)

Mengahadap kiblat dikecualikan bagi orang  yag melaksanakan sholat Al-khauf dan sholat sunat di atas kendaraan bagi orang musafir dalam perjalanan. Golongan Malikiyah mengaitkan dengan situasi aman dari musuh, binatang buas dan ada kesanggupan. Oleh karena itu tidak wajib mengahadap kiblat apabila ketakutan atau tidak sanggup (lemah) setiap orang sakit.

Ulama sepakat bagi orang yang menyaksikan ka’bah wajib menghadap ke ka’bah sendiri secara tepat. Akan tetapi bagi orang yang tidak menyaksikannya, karena jauh di luar kota Makkah, hanya wajib menghadapkan muka ke arah ka’bah, demikian pendapat jumhur ulama. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat mesti menghadapkan muka ke ka’bah itu sendiri sebagaimana halnya orang yang berada di kota Mkkah.  Caranya mesti di niatkan dalam hati bahwa menghadap itu tepat pada ka’bah.[12]

F.     Cara Mengerjakan Shalat

Menurut golongan Syafi’iyah rukun shalat ada tiga belas yaitu:
1.      Niat,
2.      Takbirtul Ihram,
3.      Berdiri pada shalat fardhu bagi yang sanggup,
4.      Membaca al-fatihah bagi setiap orang yang shalat kecuali ada uzur seperti terlambat mengkuti imam (masbuq)
5.      Ruku’,
6.      Sujud dua kali setiap rakaat,
7.      Duduk antara dua sujud,
8.      Membaca tasyahud akhir,
9.      Duduk pada tasyahud akhir,
10.    Solawat kepada Nabi SAW setelah tasyahud akhir,
11.    Duduk di waktu membaca salawat,
12.    Mengucapkan salam,
13.    Tertib.[13]

G.    Hikmah Mengerjakan Shalat

Dari sudut religious shalat merupakan hubungan langsung antara hamba dengan khaliq-nya yang di dalamnya terkandung kenikmatan munajat, pernyataan ubudiyah, penyerahan segala urusan kepada Allah, keamanan dan ketentraman serta perolehan keuntungan. Di samping itu dia merupakan  suatu cara untuk memperoleh kemenangan serta menahan seseorang dari berbuat kejahatan dan kesalahan. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,,(yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya,”[14]

Allah menjadikan dalam shalat sesuatu kekuatan yang ampuh yang dapat menarik orang mukmin kepada pencarian nilai keimanan. Dengan memelihara shalat, manusia menjadi mulia dan hati dapat merasakan lezatnya keagungan dan hakikat manusia itu sendiri. Sesungguhnya Allah menjadikan shalat sebagai sarana komunikasi antara Dia dan para hamba-Nya, menjadikan shalat sebagai pendekatan orang yang cinta dan ma’rifat pada-Nya, penyebab untuk pendekatan kepada-Nya dan untuk mendatangkan pertolongan/bantuan-Nya.[15]
Dalam gerakan sholat mempunyai hikmah tersendiri yaitu ketika meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas pusar. Hikmah dan rahasianya agar tidak tertarik ke alam keluhuran yang merupakan tempat rahasia langit. Saat itu ia rindu untuk naik ke atas menuju cahaya Rabbani. Juga agar tidak tertarik ke alam terendah yang merupakan tempat menyimpan rahasia bumi. Kemudian jika meletakkan wajah ke tanah yang bermakna sujud mengandung hikmah dan rahasia sebagai pernyataan ketundukan dan kepatuhan kepada yang menciptakan yaitu Allah SWT.[16]
Secara individual shalat merupakan pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah SWT , menguatkan iwa dan keinginan, semata-mata mengagungkan Allah SWT, bukan berlomba-lomba untuk memperturutkan hawa nafsu dalam mencapai kemegahan dan mengumpulkan harta. Di samping itu shalat merupakan peristirahatan diri dan ketenangan jiwa sesudah melakukan kesibukan dalam menghadapi aktivitas dunia.
Allah SWT berfirma:

 “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Shalat mengajar seseorang untuk berdisiplin dan menta’ati  berbagai peraturandan etika dalam kehidupan dunia. Hal ini terlihat dari penetapan waktu sholat yang mesti di pelihara oleh setiap muslim dan tata tertib yang terkandung di dalamnya. Dengan demikan orang yang melakukan shalat akan memahami peraturan, nilai dan sopan santun, ketentraman dan mengkonsentrasikan pikiran kepada hal-hal yang bermamfaat, karena shalat penuh dengan pengertian ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung nilai-nilai tersebut.

Dari segi social kemasyarakatan shalat merupakan pengakuan aqidah setiap anggota masyarakat dan kekuatan jiwa mereka yang berimplikasi terhadap persatuan dan kesatuan umat. Persatuan dan kesatuan ini menumbuhkan hubungan social  yang harmonis dan kesamaan pemikiran dalam menghadapi segalam problema kehidupan social kemasyarakatan.[17]

Di antara hadis-hadis yang menerangkan keutamaan sholat adalah hadis riwayat Ubadah bin Shamit. Dia mendengar Rasulullah saw bersabda, “Allah mewajibkan shalat fardhu lima kali. Barangsiapa yang melaksanakannya maka Allah sedikitpun tidak akan menyia-nyiakan ganjarannya, serta Allah telah berjanjiuntuk memasukkannya ke surga. Akan tetapi, apabila sesorang meninggalkannya maka Allah tak menjanjikan apapun untuknya. Apabila Dia berkehendak, Dia akan menyiksanya dan apabila Dia berkehendak dia kan mengampuninya,” (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, dan Ibnu Majah).

            Abdullah bin Abdurrahman meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Shalat adalah kunci (untuk masuk) surga.”

            Dalam Al-Qur’an juga ditegaskan bahwa shalat adalah salah satu jalan yang menyebabkan turunnya rahmat Allah swt. Allah berfirman, “Dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat, serta taatlah kepada Rasul supaya engkau diberi rahmat.” (QS. An-Nur: 56)

            Pada ayat lain Allah berfirman, (QS. At-Taubah: 11) allah juga menegaskan bahwa orang-orang yang beriman adalah mereka yang segera bersujud ketika di sebut ayat-ayat  Allah. (QS. As-Sajdah: 15) sujud adalah bagian dari sholat. Dengan demikin, orang yang tidak sujud berarti meninggalkan shalat bukanlah orang yang beriman.[18]








BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Shalat merupakan penyerahan diri secara talalitas untuk menghadap Tuhan, dengan perkataan dan perbuatan menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’.
2.      Shalat merupakan kewajiban bagi kaum muslimin yang mukallaf tanpa kecuali
3.      Hikmah sholat antara lain:
a. Shalat merupakan syarat menjadi takwa.
b. Shalat Merupakan Benteng Kemaksiatan
c. Shalat Mendidik Perbuatan Baik Dan Jujur
d. Shalat Akan membangun etos kerja

B.     Saran

Demikian pembuatan makalah ini semoga dapat dijadikan proses pembelajaran khususnya dalam mengetahui tentang shalat dan pentingnya ibadah sholat, ini dapat dijadikan acuan bagi pembaca untuk mendapat tambahan ilmu khususnya bagi kita semua.







DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Muhammad Yunus Bin. Dimanakah Shalat Yang Khusyu’?. T.th. Semarang: CV. Asy Syifa’
Abidin, S. A. Zainal. Kunci Ibadah. 2001. Semarang: PT. Karya Toha Putra
Al Id, Ibnu Daqiq. Ihkamul Ahkam Syarh Umdatul Ahka. 2012. Jakarta: Pustakaazzam
Al-Jurjawi, Syaikh Ali Ahmad. Indahnya Syariat Islam. 2013. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
An-Nadwi, Abulhasan Ali Abdul Hayyi Al-Hasani. Empat Sendi Agama Islam. 1992.  Jakarta: PT. Melton Putra
El Fikri, Syahruddin. Sejarah Ibadah. 2014. Jakarta: Republika Penerbit
Hamid, Abdul. Beni HMd Saebani. Fiqh Ibadah. 2009. Bandung: Pustaka Setia
Haryono, Sentot. Psikologi Salat. 2003. Yogyakarta: Mitra Pustaka
Mahalli, Ahmad Mudjab. Hadis-Hadis Muttafaq Alaih. 2003. Jakarta: Prenada Media
Ritoga, A. Rahman dan Zainuddin.  Fiqh Ibadah.  2002. Jakarta: Gaya Media Pratama
Syafa’i, Jalal Muhammad. The Power of Shalat. 2006. Bandung: MQ Publishing







[1] Sentot Haryono, Psikologi Salat, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003),  hlm. 59.
[2] Syahruddin El Fikri, Sejarah Ibadah, (Jakarta: Republika Penerbit, 2014), hlm. 30.
[3] Sentot Haryono, Psikologi Salat, hlm. 60.
[4] Abulhasan Ali Abdul Hayyi Al-Hasani An-Nadwi, Empat Sendi Agama Islam, (Jakarta: PT. Melton Putra, 1992), hlm. 21.
[5] Ahmad Mudjab Mahalli, Hadis-Hadis Muttafaq Alaih, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 29.
[6] Rahman Ritoga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 94-96.
[7] Ibnu Daqiq Al Id, Ihkamul Ahkam Syarh Umdatul Ahkam, (Jakarta: Pustakaazzam, 2012), hlm. 213.
[8] Abdul Hamid dan Beni HMd Saebani, Fiqh Ibadah, (Bandung: Pustaka Setia,  2009), hlm. 191-192.
[9] S.A. Zainal Abidin, Kunci Ibadah,  (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2001), hlm.47-48.
[10] A. Rahman Ritoga dan Dr. Zainuddin, Fiqh Ibadah, hlm. 93.
[11] S.A. Zainal Abidin, Kunci Ibadah, hlm. 48.
[12] Rahman Ritoga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, hlm. 96-98.
[13] Ibid, hlm.. 103.
[14] Ibid, hlm.. 88-89
[15] Muhammad Yunus Bin Abdullah, Dimanakah Shalat Yang Khusyu’?, (Semarang: CV. Asy Syifa’, t.th), hlm. 50.
[16] Syaikh Ali Ahmad Al-Jurjawi, Indahnya Syariat Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013), hlm. 79.
[17] Rahman Ritoga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, hlm. 90-91.
[18] Jalal Muhammad Syafa’i, The Power of Shalat, (Bandung: MQ Publishing, 2006) hlm. 47.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar